ALIRAN
LINGUISTIK TRADISIONAL (DRAFT 3)
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah
Linguistik
Dosen
Pengampu:
Prof. Dr. Kisyani Laksono, M. Hum.
Disusun oleh kelompok Emprit
1.
Mochamad
Taukit NIM. 137835005
2.
Sutianto
Lizal NIM. 137835075
3.
Puspita Indriani NIM.
137835087 (pengunggah)
UNIVERSITAS
NEGERI SURABAYA
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Studi linguistik
mengalami tiga tahap perkembangan, yaitu tahap spekulasi, tahap observasi, dan
tahap perumusan teori. Pada tahap spekulasi, pernyataan-pernyataan tentang
bahasa tidak didasarkan pada data empiris, melainkan pada dongeng atau cerita
rekaan belaka. Pada tahap klasifikasi dan observasi, para ahli bahasa
mengadakan pengamatan dan penggolongan terhadap bahasa-bahasa yang diselidiki
tetapi belum sampai pada merumuskan teori. Pada tahap ketiga yakni tahap penyelidikan
ilmiah dimana bahasa yang diteliti itu bukan hanya diamati dan diklasifikasi,
tetapi juga telah dibuatkan teori-teorinya.
Dalam
sejarah perkembangannya, linguistik dipenuhi dengan berbagai aliran, paham,
pendekatan, dan teknik penyelidikan yang dari luar tampaknya sangat ruwet,
saling berlawanan, dan membingungkan, terutama bagi para pemula. Namun
sebenarnya semua itu akan menambah wawasan kita tentang bidang dan kajian
linguistik. Lebih lanjut akan dibicarakan tentang aliran linguistik yang lebih
khusus pada aliran tradisional.
Aliran
tradisional boleh dikatakan sebagai aliran linguistik yang tertua namun karena ketaatannya pada kaidah
menyebabkan aliran ini tetap eksis di zaman apapun. Istilah tradisional sering
dipertentangkan dengan istilah struktural sehingga dalam pendidikan formal ada
istilah tata bahasa tradisional dan tata bahasa struktural. Tata bahasa
tradisional menganalisis bahasa berdasarkan filsafat dan semantik, sedangkan
tata bahasa struktural berdasarkan struktur atau ciri-ciri formal yang ada
dalam suatu bahasa tertentu. Selain itu, teori tradisional berdasarkan pola
pemikiran secara filosofis. Dari latar belakang sejarahnya saja, kita bisa
mengetahui bahwa munculnya teori ini bermula dari Plato dan Aristoteles yang
kita kenal sebagai filosof besar bangsa Yunani.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah
dijelaskan di atas, maka rumusan masalah dapat disusun seperti di bawah ini.
1.
Bagaimana
munculnya aliran linguistik tradisional?
2.
Bagaimana
ciri-ciri aliran linguistik tradisional?
3.
Siapa sajakah para tokoh aliran aliran linguistik
tradisional?
4.
Apakah kelebihan
dan kelemahan aliran linguistik tradisional?
5.
Zaman-zaman apa saja yang terdapat pada aliran
tradisional?
6.
Bagaimana
analisis kalimat dalam aliran linguistik tradisional?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Munculnya Aliran Linguistik Tradisional
Pada abad IV
SM, seorang ahli filsafat bernama Plato (429 S.M.-348 S.M.) menelorkan
pembagian jenis kata bahasa Yunani Kuno dalam kerangka telaah filsafatnya.
Plato membagi jenis kata bahasa Yunani Kuno menjadi dua golongan yaitu onoma dan rhema. Onoma adalah jenis
kata yang biasanya menjadi pangkal pernyataan atau pembicaraan. Adapun rhema adalah jenis kata yang biasanya
dipakai untuk mengungkapkan pernyataan atau pembicaraan. Secara awam atau
secara mudahnya onoma ini lebih
kurang dapat disejajarkan dengan kata benda, sedangkan rhema lebih kurang disejajarkan dengan kata kerja atau kata sifat.
Selanjutnya, Aristoteles (384 S.M.-322 S.M.) membagi jenis kata bahasa Yunani
Kuno menjadi tiga golongan yakni onoma,
rhema, dan syndesmos.
Perkembangan
ilmu bahasa sampai pada masa itu terbatas pada telaah kata saja, khususnya
tentang jenis kata. Tata bahasa atau gramatikal baru mulai diperhatikan pada
akhir abad (130 S.M.) oleh Dyonisius Thrax. Buku tata bahasa yang pertama
disusun itu berjudul “Techne Gramatike”. Buku inilah yang kemudian menjadi
anutan para ahli tata bahasa yang lain yang kemudian dikenal sebagai penganut
aliran tradisionalisme. Pada zaman ini pembagian jenis kata sudah mencapai
delapan, yaitu: (1) nomina, (2) pronominal, (3) artikel, (4) verba, (5)
adverbial, (6) preposisi, (7) partisipium, dan (8) konjugasi.
B.
Ciri-ciri Aliran Linguistik Tradisional
Tata bahasa
tradisional menurut Abdul Chaer (2003:333) menganalisis bahasa
berdasarkan filsafat dan semantik. Dalam merumuskan kata kerja, misalnya, tata
bahasa mengatakan kata kerja adalah kata yang menyatakan tindakan atau
kejadian. Ciri-ciri aliran tradisional menurut Soeparno (2002:44) adalah
sebagai berikut:
1.
Bertolak dari Pola Pikir secara Filosofis
Ada dua hal yang menjadi bukti bahwa aliran
tradisional menggunakan landasan atau pola pikir filsafat ialah banyaknya
pembagian jenis kata yang bersumber dari onoma-rhema produk Plato dan onoma-rhema-syndesmos produk
Aristoteles; dan penggunaan istilah subjek dan predikat yang sampai saat ini
menjadi materi utama dalam pembelajaran bahasa di sekolah.
2.
Tidak Membedakan Bahasa dan Tulisan
Teori ini mencampuradukkan pengertian bahasa (dalam
arti yang sebenarnya) dan tulisan (perwujudan bahasa dengan media huruf).
Dengan demikian, secara otomatis juga mencampuradukkan pengertian bunyi dan
huruf. Sebagai bukti seorang ahli bahasa mencampuradukkan pengertian tersebut
dapat dibaca pada kutipan “Antara vokal-vokal itu, huruf [a] adalah yang
membentuk lubang mulut yang besar, [i] yang kecil, [e] biasanya terbentuk di
dalam mulut sebelah muka, dan [o] di belakang sebelah ke dalam” (Mees dalam
Soeparno, 2002:44).
3.
Senang Bermain dengan Definisi
Ciri ini merupakan pengaruh dari cara berpikir secara
deduktif. Semua istilah diberi definisi terlebih dahulu kemudian diberi contoh,
yang kadang-kadang hanya ala kadarnya. Teori ini tidak pernah menyajikan
kenyataan-kenyataan bahasa yang kemudian dianalisis dan disimpulkan. Yang
paling utama adalah memahami istilah dengan menghafal definisi yang dirumuskan
secara filosofis.
4.
Pemakaian Bahasa Berkiblat pada Pola atau Kaidah
Ketaatan pada pola ini diwarisi sejak para ahli tata
bahasa tradisional mengambil alih pola-pola Bahasa Latin untuk diterapkan pada
bahasa mereka sendiri. Kaidah bahasa yang telah mereka susun dalam suatu bentuk
buku tata bahasa harus benar-benar ditaati oleh pemakai bahasa. Setiap
pelanggaran kaidah dinyatakan sebagai bahasa yang salah atau tercela.
Pengajaran bahasa di sekolah mengajarkan bahasa persis yang tercantum di dalam
buku tata bahasa. Praktik semacam itu mengakibatkan siswa pandai dan hafal akan
teori-teori bahasa akan tetapi tidak mahir berbicara atau berbahasa di dalam
kehidupan masyarakat. Tata bahasa yang mereka pakai itu biasa disebut tata
bahasa normatif dan tata bahasa preskriptif.
5.
Level-level Gramatik Belum Ditata Secara Rapi
Level (tataran) yang terendah menurut teori ini adalah
huruf. Level di atas huruf adalah kata, sedangkan level yang tertinggi adalah
kalimat. Menurut teori ini, huruf didefinisikan sebagai unsure bahasa yang
terkecil, kata didefinisikan sebagai kumpulan dari huruf yang mengandung arti,
sedangkan kalimat didefinisikan sebagai kumpulan kata yang mengandung arti
lengkap.
6.
Tata Bahasa Didominasi oleh Jenis Kata (Part of Speech)
Ciri ini
merupakan ciri yang paling menonjol di antara ciri-ciri yang lain. Hal ini
dapat dimengerti karena masalah penjenisan kata merupakan aspek linguistik yang
paling tua dalam sejarah kajian linguistik.
C.
Para Tokoh Aliran Aliran Linguistik Tradisional
Para tokoh yang menganut aliran
linguistik tradisional, antara lain:
1.
Dionysius Thrax
2.
Zandvoort
3.
C.A. Mees
4.
van Ophuysen
5.
RO Winstedt
6.
Raja Ali Haji
7.
St. Moh. Zain
8.
St. Takdir
Alisyahbana
9.
Madong Lubis
10.
Poedjawijatna
11.
Tardjan Hadidjaja
D.
Kelebihan dan Kelemahan Aliran Linguistik
Tradisional
1.
Kelebihan Aliran Linguistik Tradisional
Menurut Alwasilah (1987) kelebihan
aliran linguistik trasional adalah sebagai berikut
a.
Teori tradisional ini lebih tahan lama karena pola
pikir aliran ini bertolak dari pola pikir filsafat.
b.
Aliran ini berkiblat pada bahasa tulis baku, maka
keteraturan penggunaan bahasa bagi para penganutnya sangat dibangggakan.
c.
Aliran tradisional mampu menghasilkan generasi yang
mempunyai kepandaian dalam menghafal istilah karena salah satu ciri aliran ini
senang bermain dengan definisi.
d.
Aliran tradisional menjadikan penganutnya memiliki
pengetahuan tata bahasa yang cukup tinggi karena pemakaian bahasa berkiblat
pada pola atau kaidah.
e.
Aliran ini telah memberikan kontribusi besar terhadap
penegakan prinsip: “yang benar adalah benar walaupun tidaka umum, dan yang
salah adalah salah walaupun banyak pengikutnya”.
2.
Kelemahan Aliran Linguistik Tradisional
Menurut Alwasilah (1987) kekurangan
aliran linguistik tradisional adalah sebagai berikut
a.
Teori tradisional belum bisa membedakan bahasa dan tulisan sehingga
pengertian antara bahasa dan tulisan masih kacau.
b.
Teori ini tidak pernah menyajikan kenyataan bahasa yang kemudian dianalisis
dan disimpulkan, yang paling utama adalah memahami istilah dengan menghafal
definisi yang dirumuskan secara filosofis.
c.
Pemakaian bahasa berkiblat pada pola atau kaidah sehingga siswa pandai dan
hafal teori-teori bahasa akan tetapi tidak mahir sama sekali berbicara atau
berbahasa di dalam kehidupan masyarakat.
d.
Level-level gramatikalnya belum rapi hanya tiga level yang secara pasti
ditegakkan, yakni huruf, kata, dan kalimat.
e.
Pemerian bahasa menggunakan pola Bahasa Latin yang sangat berbeda dengan Bahasa
Indonesia.
f.
Pemerian bahasa berdasarkan bahasa tulis baku padahal bahasa tulis baku
hanya merupakan sebagian dari ragam bahasa yang ada.
g.
Permasalahan tata bahasa masih banyak didominasi oleh permasalahan jenis
kata (part of speech), sehingga ruang
lingkup permasalahan masih sangat sempit.
h.
Objek kajian hanya sampai dengan level kalimat, sehingga tidak memungkinkan
menyentuh aspek komunikatif.
E.
Zaman-zaman
yang Terdapat pada Aliran Tradisional
1. Lingustik Zaman Yunani
Chaer (2003:333)
menjelaskan bahwa studi bahasa pada zaman Yunani mempunyai sejarah yang sangat
panjang, yaitu dari lebih kurang abad ke-5 S.M. sampai lebih kurang abad ke-2
M. Jadi, lebih kurang sekitar 600 tahun. Masalah pokok kebahasaan yang menjadi pertentangan para linguis pada waktu itu adalah (1) pertentangan antara fisis dan nomos dan (2)
pertentangan antara analogi dan anomali.
Para filsuf
Yunani mempertanyakan, apakah bahasa itu bersifat alami (fisis) atau bersifat konvensi (nomos).
Bersifat alami atau fisis maksudnya bahasa itu mempunyai hubungan asal-usul,
sumber dalam prinsip-prinsip abadi, dan tidak dapat diganti di luar manusia itu
sendiri. Oleh karena itu, tidak dapat ditolak. Dalam bidang semantik, kelompok
yang menganut faham ini, yaitu kaum naturalis yang berpendapat bahwa setiap
kata mempunyai hubungan dengan benda yang ditunjuknya atau dengan kata lain
setiap kata mempunyai makna secara alami (fisis).
Sebaliknya kelompok lain yaitu kaum konvensional berpendapat bahwa bahasa
bersifat konvensi yang artinya makna-makna kata kata itu diperoleh dari
hasil-hasil tradisi atau kebiasaan-kebiasaan yang mempunyai kemungkinan bisa
berubah.
Pertentangan
analogi dan anomali menyangkut masalah bahasa itu sesuatu yang teratur atau
tidak teratur. Yang termasuk ke dalam kaum analogi
antara lain Plato dan Aristoteles yang berpendapat bahwa bahasa itu bersifat
teratur. Karena adanya keteraturan itulah orang dapat menyusun tata bahasa.
Jika tidak teratur tentu yang dapat disusun hanya idiom-idiom saja dari bahasa
itu dan keteraturan bahasa itu juga tampak serta juga terjadi pembentukan
jamak. Selanjutnya, kelompok anomali
berpendapat bahwa bahasa itu tidak teratur. Kalau bahasa itu teratur, mengapa terdapat
bentuk jamak.
Dari
keterangan di atas tampak bahwa kaum anomali
sejalan dengan kaum naturalis (fisis),
dan kaum analogi sejalan dengan kaum
konvensional (nomos). Pertentangan
kedua kelompok tersebut, anomali dan analogi masih berlangsung sampai sekarang,
terutama jika orang berbicara tentang filsafat bahasa.
Dari studi
bahasa pada zaman Yunani ini kita bisa mengenal nama dari beberapa kaum atau
tokoh yang mempuyai peranan besar dalam studi pada zaman Yunani. Di bawah ini
akan dijelaskan secara singkat.
a. Kaum Sophis
Kaum Sophis muncul pada abad ke-5 S.M. dan mereka
terkenal dalam studi bahasa, antara lain:
1. Mereka melakukan kerja secara empiris.
2.
Mereka melakukan kerja secara pasti dengan mengunakan
ukuran-ukuran tertentu.
3.
Mereka sangat mementingkan retorika dalam studi bahasa.
4.
Mereka membedakan tipe-tipe kalimat berdasarkan isi
dan makna.
Salah seorang tokoh dari kaum sophis bernama Phytagoras
membagi kalimat menjadi kalimat narasi, kalimat tanya, kalimat
jawab, kalimat
perintah, kalimat laporan, do’a, dan undangan. Tokoh lain dari kaum Sophis
yaitu Gorgias yang membicarakan gaya bahasa seperti yang sudah kita kenal
sekarang.
b. Plato (429-347 S.M.)
Plato yang hidup sebelum abad Masehi itu, dalam studi
bahasa terkenal, antara lain dikarenakan.
1.
Dia memperdebatkan analogi
dan anomali dalam bukunya Dialoog serta juga mengemukakan masalah
bahasa alamiah dan
bahasa konvensial.
2.
Dia menyodorkan batasan bahasa yang berbunyi: bahasa
adalah pertanyaan pikiran manusia dengan perantara onomata dan rhemata.
3.
Dialah orang yang pertama kali membedakan kata dalam onoma dan rhema.
Onoma (bentuk tunggalnya onomata) dapat berarti: (1) nama, dalam
sehari-hari; (2) nomina, nominal
dalam istilah tata bahasa; dan (3) subjek, dalam hubungan subjek logis. Sedangkan
rhema (bentuk tunggalnya
rhemata) dapat berarti: (1) ucapan,
dalam sehari-hari; (2) verba, dalam istilah tata bahasa; dan (3) predikat,
dalam hubungan predikat logis. Keduanya merupakan anggota logos, yaitu kalimat
atau klausa.
c. Aristoteles (384-322 S.M.)
Aristoteles adalah salah seorang murid dari Plato. Dalam
studi bahasa dia terkenal dikarenakan.
1.
Dia menambahkan satu kelas lagi atas pembagian yang
dibuat oleh gurunya, Plato, yaitu syndesmoi.
Jadi, menurutnya ada tiga macam kelas kata yaitu onoma, rhema, dan syndesmoi. Syndesmoi yaitu
kata-kata yang lebih banyak
bertugas dalam hubung sintaksis (sama dengan
preposisi dan konjungsi yang kita kenal sekarang).
2.
Dia membedakan jenis kelamin kata (gender)
menjadi tiga yaitu maskulin, feminin, dan neutrum.
Aristoteles selalu bertolak dari logika dan dia sudah
memberikan pengertian, definisi, konsep, makna, dan sebagainya selalu berdasar
pada logika.
d. Kaum Stoik
Kaum Stoik Adalah
kelompok ahli filsafat
yang berkembang pada permulaan abad ke-4 S.M. dalam studi
bahasa, kaum Stoik terkenal dikarenakan.
1.
Mereka membedakan
studi bahasa secara logika dan studi bahasa secara tata bahasa.
2.
Mereka menciptakan
istilah-istilah khusus
untuk studi bahasa.
3.
Mereka membedakan tiga komponen utama dari studi
bahasa yaitu (1) tanda, simbol, sign atau semainon; (2) makna, apa yang sebut semainomen atau lekton; dan (3)
hal-hal di luar bahasa, yakni benda atau
situasi.
4.
Mereka membedakan legein, yaitu bunyi
yang merupakan bagian dari fonologi tetapi tidak
bermakna dan propheretal yaitu ucapan
bunyi bahasa yang mengandung makna.
5.
Mereka membagi jenis kata menjadi empat, yaitu kata
benda, kata kerja, syndesmoi, dan arthoron, yaitu kata-kata yang
menyatakan jenis kelamin dan jumlah.
6.
Mereka membedakan adanya kata kerja komplet dan kata
kerja tidak komplet, serta kata
kerja aktif dan kata kerja pasif.
Dari uraian di atas tampak jelas bahwa yang telah
dihasilkan oleh kaum Stoik lebih jauh daripada yang telah dihasilkan oleh atau
pada zaman Plato dan Aristoteles.
e. Kaum
Alexandrian
Kaum Alexandrian menganut paham
analogi dalam studi bahasa. Oleh karena itulah dari mereka kita mewarisi sebuah
buku tata bahasa yang bisebut “Tata Bahasa Dionysius Thrax” sebagai hasil mereka dalam
menyelidiki kereguleran Bahasa Yunani. Buku tersebut
lahir lebih kurang tahun 100 S.M. dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin oleh
Remmius Palaemon pada permulaan abad pertama Masehi dengan judul “Ars
Grammatika”. Buku itulah yang kemudian dijadikan model dalam penyusunan buku
tata bahasa Eropa lainnya. Karena sifatnya yang mentradisi, maka buku tersebut
sekarang dikenal dengan sebutan tata bahasa tradisonal dan cikal bakal tata
bahasa tradisonal tersebut berasal dari buku “Tata Bahasa Dionysius Thrax”.
2. Zaman Romawi
Studi bahasa pada zaman Romawi dapat
dianggap kelanjutan dari zaman Yunani, sejalan dengan jatuhnya Yunani, dan
munculnya Kerajaan Romawi. Boleh dikatakan orang Romawi mendapat
pengalamandalam bidang linguistik dari orang Yunani. Pada awal abad pertama
Remmius Palaemon telah menerjemahkan buku “Tata Bahasa Dionysius Thrax” ke dalam
Bahasa Latin dengan judul “Ars Grammatika”. Tokoh pada zaman Rowami yang
terkenal, antara lain: Varro (116-27 S.M.) dengan karyanya “De Lingua Latina”
dan Priscia dengan karyanya “Institutiones
Grammaticae”.
a. Varro dan “De Lingua Latina”
Dalam buku “De Lingua Latina” yang
terdiri dari 25 jilid, Varro juga masih
memperdebatkan masalah analogi dan anomali seperti
pada zaman Stoik di Yunani. Buku ini dibagi dalam bidang-bidang
etimologi, morfologi, dan sintaksis.
1.
Etimologi
adalah cabang lingustik yang meyelidiki asal usul kata beserta
artinya. Dalam
bidang ini Varro mencatat adanya perubahan bunyi yang terjadi dari zaman ke zaman serta perubahan makna kata. Kelemahan
Varro dalam bidang etimologi ini adalah dia menganggap kata-kata Latin dan
Yunani yang berbentuk sama adalah pinjaman langsung. Padahal banyak dari kata
Latin dan Yunani yang harus direkonstruksikan kembali kepada satu bahasa purba
atau bahasa proto yang lebih tua.
2.
Morfologi adalah cabang lingustik yang
mempelajari kata dan pembentukannya. Menurut Varro, kata
adalah bagian dari ucapan tidak dapat dibedakan lagi dan merupakan bentuk
minimum. Menurut Varro, dalam Bahasa Latin ada kata-kata yang terjadi secara analogi dan ada juga yang terjadi secara
anomali. Jadi, ada bentuk yang
reguler dan ada juga yang tidak reguler. Dalam menyusun kata, Varro membagi
tiga kelas kata Latin dalam empat bagian, yaitu:
a.
Kata benda, termasuk
kata sifat, yakni kata yang disebut
berinfleksi kasus.
b.
Kata kerja, yakni kata
yang membuat pernyataan, yang berinfleksi “tense”.
c.
Partisipel, yakni kata
yang menghubungkan (dalam sintaksis kata benda dan kata kerja), yang berinfleksi
kasus dan “tense”.
d.
Adverbium, yakni kata
yang mendukung (anggota bawahan dari kata kerja), yang
tidak berinfleksi.
Kategori kata kerja dibedakan atas “tense”, “time”,
dan “aspect” serta aktif dan pasif.
Tentang kasus dalam Bahasa Yunani ada lima buah, maka
dalam Bahasa Latin menurut Varro ada enam buah, yaitu: (1) nominativus, yaitu bentuk primer atau pokok; (2) genetivus, yaitu bentuk yang menyatakan
kepunyaan; (3) dativus, yaitu bentuk
yang menyatakan menerima; (4) akusativus,
yaitu bentuk yang menyatakan objek; (5) vokatikus,
yaitu bentuk sebagai sapaan atau panggilan; dan (6) ablativus, yaitu bentuk yang menyatakan asal.
Mengenal deklinasi, yaitu perubahan bentuk kata yang
berkenaan dengan kategori, kasus, jumlah, dan jenis. Varro membedakan adanya
dua macam deklinas, yaitu deklinasi naturalis dan deklinasi voluntaris. Yang
dimaksud dengan deklinasi naturalis adalah perubahan yang bersifat alamiah,
sebab perubahan itu dengan sendirinya dan sudah berpola. Deklinasi ini pada
umumnya bersifat reguler dan biasanya sudah dapat diketahui pemakai bahasa
dengan serta merta tanpa ragu-ragu. Sebaliknya, deklinasi voluntaris
perubahannya terjadi secara morfologis bersifat selektif dan manasuka. Jadi,
sifatnya reguler. Oleh karena itu, para pemakai bahasa harus sadar bagaimana ia
harus melaksanakan deklinasi itu
b. “Institutiones Grammaticae” atau Tata Bahasa Priscia
Dalam
sejarah studi bahasa, buku tata bahasa Priscia ini, yang terdiri dari 18 jilid
(16 jilid tentang morfologi dan 2 jilid tentang sintaksis) yang dianggap sangat
penting, karena:
1.
merupakan
buku tata bahasa Latin yang paling lengkap yang ditunturkan oleh pembicara aslinya;
2.
teori-teori tata bahasanya merupakan tonggak-tonggak utama
pembicaran bahasa secara tradisional.
Buku tata
bahasa ini kemudian menjadi model dan contoh dalam penulisan buku tata bahasa
bahasa-bahasa lain di Eropa dan di bagian dunia lain. Sebagai buku tata bahasa
tradisional, buku ini secara nyata dan pasti menggunakan semantik atau makna
sebagai norma utama pembahasan bahasa, walaupun segi-segi formal bahasa juga
dibicarakan. Beberapa segi yang patut dibicarakan tentang buku ini, antara
lain, adalah:
a.
Fonologi, dalam bidang
ini pertama-tama dibicarakan tulisan atau huruf yang disebut “litterae”. “Litterae”
adalah bagian terkecil dari bunyi yang dapat dituliskan. Nama huruf-huruf itu disebut “figurae”, sedangkan
nilai bunyi itu disebut “potestas”. Bunyi itu dibedakan atas empat macam,
yaitu: (1) vox artikulata, bunyi yang
diucapkan untuk membedakan makna; (2) vox
martikulata, bunyi yang tidak diucapkan untuk menunjukkan makna; (3) vox litterata, yaitu bunyi yang dapat
dituliskan baik yang artikulata
maupun yang matrikulata; dan (4) vox illiterata, yaitu bunyi yang tidak
dapat dituliskan.
b.
Morfologi, dalam bidang ini dibicarakan mengenai dictio atau kata. Diction atau kata
adalah bagian yang minimum dari sebuah
ujaran dan harus diartikan terpisah dalam makna
sebagai satu-kesatuan. Diction atau
kata tersebut dibagi menjadi delapan jenis yang disebut partes orationis. Kedelapan jenis kata itu adalah: (1) nomen, termasuk kata benda dan kata
sifat menurut klasifikasi sekarang; (2) verbum,
yaitu kata yang menyatakan perbuatan atau dikenal dengan perbuatan; (3) participium, yaitu kata yang selalu
berderivasi dari verbum, mengambil
kategori verbum dan nomen; (4) pronomen, yaitu kata-kata yang dapat menggantikan nomen; (5) adverbium, yaitu kata-kata yang secara sintaksis dan semantik
merupakan atribut dari verbum; (6) praepositio, yaitu kata-kata yang
terletak di depan bentuk yang berkasus; (7) interjectio,
yaitu kata-kata yang menyatakan perasaan, sikap, atau pikiran; dan (8) conjunctio, yaitu kata-kata yang
bertugas menghubungkan anggota-anggota kelas kata yang lain untuk menyatakan
hubungan sesamanya.
c.
Sintaksis, membicarakan tentang hal yang disebut oratio, yaitu tata susun kata yang
berselaras dan menunjukan kalimat itu selesai. Selain itu,
sebuah kata dapat menjadi sebuah kalimat yang penuh.
Akhirnya,
buku “Institutiones
Grammaticae” ini telah menjadi dasar tata bahasa Latin dan filsafat zaman
pertengahan.
c. Zaman Pertengahan
Studi bahasa
pada zaman pertengahan di Eropa mendapat perhatian penuh terutama oleh para
filsuf skolastik dan Bahasa Latin menjadi lingua
franca, karena dipakai sebagai bahasa gereja, bahasa diplomasi, dan bahasa
ilmu pengetahuan. Dari zaman pertengahan ini yang patut dibicarakan dalam studi
bahasa, antara lain adalah peranan Kaum Modistae, Tata Bahasa Spekulativa, dan
Petrus Hispanus.
1.
Peranan Kaum Modistae
Kaum Modistae masih
membicarakan pertentangan fisis dan nomos dan pertentangan antara analogi dan anomali. Mereka menerima konsep analogi karena menurut mereka bahasa itu
bersifat reguler dan bersifat universal.
2.
Tata Bahasa Spekulativa
Tata Bahasa Spektulativa merupakan hasil integrasi
deskripsi gramatikal Bahasa Latin (seperti yang dirumuskan oleh Priscia) ke
dalam filsafat skolastik. Kata tidak secara langsung mewakili alam dari benda yang ditunjuk. Kata
hanya mewakili hal adanya benda itu dalam berbagai cara, modus,
substansi, aksi, kualitas, dan sebagainya. Semua
bahasa akan mempunyai kata untuk konsep yang sama dan semua bahasa akan
menyatakan kesamaan jenis kata dan kategori-kategori gramatikal lainnya. Salah
seorang gramatikus dari zaman ini adalah Peter Hellas. Dia mengikuti jejak
Priscia, tetapi dia selalu memberikan komentar berdasarkan logika Aristoteles.
3.
Perus Hispanus
Perus Hispanus pernah
menjadi Paus, yaitu pada tahun 1276-1277 dengan gelar Paus Johannes XXI.
Bukunya yang berjudul “Summulae Logicales”. Peranannya dalam bidang
linguistik, antara lain:
a.
Dia telah memasukkan psikologi dalam analisis makna
bahasa. Dia juga membedakan antara signifikasi utama dan konsignifikasi, yaitu
perbedaan pengertian pada bentuk akar dan pengertian yang dikandung oleh
imbuhan-imbuhan.
b.
Dia telah membedakan nomen atas dan macam, yaitu nomen
substantivum dan nomen adjectivum.
c.
Dia telah membedakan partes orationes atas categoremetik (semua bentuk yang dapat
menjadi subyek atau predikat) dan syntategorematik (semua bentuk tutur lainnya).
d. Zaman Renaisans
Zaman
Renaisans dianggap sebagai zaman pembukaan abad pemikiran abad modern. Dalam sejarah
studi bahasa, ada dua hal pada zaman Renaisans yang menonjol yang perlu
dicatat, yaitu:
1.
Penguasaan beberapa bahasa oleh sarjana-sarjana pada
waktu itu (Latin, Yunani, Ibrani, dan Arab).
2.
Selain bahasa Yunani, Latin, Ibrani, dan Arab,
bahasa-bahasa Eropa lainnya juga mendapat perhatian dalam bentuk pembahasan,
penyusunan tata bahasa, dan malah juga perbandingan.
Bahasa
Ibrani dan bahasa Arab banyak di pelajari orang pada akhir abad pertengahan.
Kedua bahasa itu diakui resmi pada akhir abad ke-14 di Universitas Paris.
Bahasa Ibrani perlu diketahui dan dipelajari karena kedudukannya sebagai bahasa
kitab Perjanjian Lama dan kitab Perjanjian Baru. Beberapa buku tentang tata
bahasa Ibrani pernah ditulis oleh orang pada zaman Renaisans yang di antaranya:
Roger Bacon, Reuchlin, dan N. Clenard. Buku tata bahasa yang pernah ditulis
oleh Reuchlin berjudul “De Rudimentis Hebraicis” yang berisi tentang
penggolongan kata. Dia menggolongkan kata Bahasa Ibrani atas nomen, verbum, dan partikel.
Penggolongan kata tersebut mirip dengan penggolongan kata dalam linguistik Arab
yang menjadi ismun, fi’lun, dan harfun. Sesungguhnya Bahasa Ibrani dan Arab adalah dua bahasa yang
serumpun dan perkembangan studi bahasa Ibrani juga sejalan dengan perkembangan
linguistik Bahasa Arab yang terlebih dahulu memperoleh kemajuan.
Linguistik
Arab berkembang pesat karena kedudukan bahasa Arab sebagai bahasa kitab suci
agama Islam, yaitu Qur’an. Sedangkan bahasa kitab suci menurut pendapat
kebanyakan Ulama Islam tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa lain dan hanya
boleh ditafsirkan saja. Ada dua aliran linguistik Arab, yaitu:
1.
Aliran Basra (mendapat pengaruh konsep analogi dari zaman Yunani yang
senantiasa berpegang teguh pada kereguleran dan kesistematisan Bahasa Arab).
2.
Aliran Kufah (menganut paham anomali karena mereka lebih memberikan perhatian kepada
keanekaragaman bahasa).
Bahasa-bahasa
Eropa, dimana yang mendapat perhatian secara khusus dan serius adalah studi
tentang bahasa Roman atau Neo-Latin. Lebih-lebih setelah Dante menulis buku
yang berjudul “De Vulgari Eloquentia” pada permulaan abad ke-14 yang berisi
tentang bahasa yang dipakai sehari-hari yang diketahui sejak kecil. Dia juga
mengusulkan agar Bahasa Italia dijadikan bahasa persatuan di seluruh Italia.
Adanya hubungan antara bahasa-bahasa Roman dengan Bahasa Latin menyebabkan
timbulnya studi bahasa-bahasa secara diakronik.
Bahasa-bahasa
Di Luar Eropa, mendapat perhatian dalam studi bahasa karena adanya kegiatan
(keagamaan, politik, perdagangan, dan sebagainya) para misionaris ke luar
negeri yang jauh dari Eropa dan harus melibatkan mereka dengan bahasa-bahasa
tersebut sehingga muncul berbagai tulisan tentang bahasa-bahasa seperti yang
terdapat di India, Jepang, Indonesia, dan lain-lainnya. Selain itu, misi
tersebut juga berguna untuk menyadarkan pula akan perlunya sebuah bahasa yang
dapat dipakai sebagai bahasa perhubungan (lingua
franca) antarbangsa.
e. Menjelang Lahirnya Linguistik Modern
Ferdinand de
Saussure dianggap sebagai bapak Linguistik Modern. Masa antara lahirnya
linguistik modern dengan masa berakhirnya zaman Renaisans ada satu tonggak yang
sangat penting dalam sejarah studi bahasa. Tonggak yang dianggap sangat penting
itu adalah dinyatakannya adanya hubungan kekerabatan antara Bahasa Sanskerta
dengan bahasa-bahasa Yunani, Latin, dan bahasa Jerman lainnya. Hal tersebut
dikemukakan oleh Sir William Jones dari East
India Company di hadapan The Royal
Asiatic Society di Kalkuta, India pada tahun 1786. Pernyataan Beliau telah
membuka babak baru sejarah linguistik, yaitu dengan berkembangnya studi
linguistik bandingan atau linguistik historis komparatif serta studi tentang
hakikat bahasa secara linguistik terlepas dari masalah filsafat Yunani Kuno.
F.
Analisis Kalimat Dalam Aliran Linguistik Tradisional
1.
Zaman Yunani
Pada Zaman ini, para
tokooh banyak berkutat untuk mempertentangkan perihal fisis dan nomos, naturalis dan konvensional, analogi dan
anomaly. Pertentangan-pertentangan
ini, tampaknya menjadi tumpuan bagi beberapa kaum dan tokoh yang muncul dalam
studi bahasa tersebut.
a.
Kaum Sophis yang
berdasarkan isi dan maknanya mereka telah membagi kalimat menjadi 7 bagian
yaitu: kalimat narasi, kalimat tanya, kalimat jawab, kalimat perintah, kalimat
laporan, doa. dan undangan. Merujuk pada pembagian kalimat tersebut, maka keenam
kalimat tersebut hanya bisa dibedakan berdasarkan jenis kalimatnya sebagai
berikut:
Bapak sare, kula siram.
‘Bapak tidur, saya mandi’
Bapak sare, kula siram. ‘Bapak tidur, saya mandi’ adalah jenis kalimat
narasi yang menceritakan adanya aktifitas tidur yang dilakukan oleh ayah, dan
saya melakukan aktivitas mandi.
Sebenarnya, akan lebih
tepat jika penggolongan jenis kalimat tidak disebutkan sebagai jenis narasi
yang berisi cerita, tetapi lebih tepatnya kalimat berita yang berisi informasi.
Karena pada dasarnya sebuah narasi tidak dapat disajikan dalam bentuk kalimat
tetapi disajikan dalam bentuk paragraf.
b.
Plato (429-347 S.M.)
Dengan konsepnya onoma (nama) atau sejajar dengan subjek
dan rhema (ucapan) atau sejajar
dengan verba yang bisa menduduki posisi predikat. Penerapannya sebagai berikut:
Bapak sare, kula siram.
S P
S P
‘Bapak tidur, saya mandi’
Terbukti bahwa konsep Plato
tersebut dapat diterima.
c.
Aristoteles
(384-322 S.M.)
Dengan konsepnya yang
menambahkan kelas kata syndesmoi pada
konsep Plato yang terdiri dari anoma
dan rhema. Syndesmoi adalah konjungsi. Penerapannya sebagai berikut:
Bapak sare (,) kula siram.
S
P
penghubung(implisit) S P
‘Bapak tidur, saya mandi’
Kalimat tersebut
memiliki dua klausa yang saling berhubungan. Hanya saja, untuk menghubungkanya
tidak digunakan konjungsi, tetapi menggunakan tanda koma (,) yang bisa
digantikan dengan konjungsi ‘nalika’.
d.
Kaum Stoik
Konsep yang dihasilkan oleh
Kaum Stoik adalah:
1)
adanya semaion, makna dan benda ataupun
situasi.
2)
bunyi yang
bermakna (propheretal) dan tidak
bermakna (legein).
3)
ada 4 jenis kata
yaitu kata benda, kata kerja, syndesmoi,
dan arthoron.
4)
kata kerja
komplet, kata kerja tak komplet, dan kata kerja aktif dan kata kerja pasif.
Pada kalimat Bapak sare, kula siram menunjukkan ada simbol
yang berupa kata atau tulisan yang diiringi dengan maknanya yang menunjukkan
situasi yang terjadi. Pada kalimat itu pula, ditemukan bunyi yang bermakna (propheretal) dan di dalam kalimat
tersebut juga ditemukan kata benda yang sejajar dengan subjek, kata kerja yang
sejajar dengan Predikat, syndesmoi
yang terwakili oleh tanda koma (,). Sedangkan arthoron tidak tampak ada, karena dalam kalimat tersebut tidak ada
kata yang merujuk pada kata yang berjenis kelamin atau jumlah. Kalimat tersebut
merupakan kalimat aktif yang ditunjukkan dengan adanya subjek yang beraktifitas
melakukan pekerjaan.
2.
Zaman Romawi
Tokoh yang terkenal di dalamya
adalah Varro dan Institutiones
Grammaticae atau Tata Bahasa Priscia.
Varro memperkenalkan
hasil studi bahasannya sebagai berikut:
a.
Varro
1)
etimologis
Varro menyatakan bahwa
terjadi perubahan bunyi dari zaman ke zaman.
2)
morfologi
Dalam hal morfologi,
Varro membagi kelas kata latin menjadi 4 yaitu:
a)
kata benda
termasuk kata sifat yaitu kata yang berinflesi kasus.
b)
kata kerja yaitu
kata yang membuat pernyataan, yang berinfleksi “tense”.
c)
partisipel,
kata yang mengubungkan (kata benda dan kata kerja dalam sintaksis) yang tidak
berinfleksi.
d)
adverbium,
yakni kata yang mendukung (anggota bawahan dari kata kerja) yang tidak
berinfleksi (Chaer, 2003:339)
Pada kalimat bapak sare, kula siram tidak bisa
diterapkan secara persis dengan konsep tersebut, karena dalam Bahasa Jawa tidak
terdapat kata kerja yang berinfleksi dengan “tenses”. Pada bagian partisipel, kalimat Bapak sare, kula siram ini bisa diperikan sebagai berikut:
Bapak sare , kula siram
S P
Kon S P
‘Bapak tidur, saya mandi’
Kata penghubung pada
kalimat tersebut adalah adanya tanda koma (,) yang tidak berinfleksi dengan
apapun. Dalam kalimat ini, tidak terdapat adverbium
karena masing-masing predikat tidak disertai kata lain.
b.
Institutiones Grammaticae atau Tata Bahasa Priscia
Buku Tata Bahasa Priscia
ini dibicarakan mengenai tiga studi kebahasaan, meliputi (a) fonologi, (b) morfologi
dan (c) sintaksis. Dalam fonologi, Beliau membedakan adaya empat bunyi yaitu:
(1) Vox artikulata, (2) Vox martikulata, (3) Vox literata dan (4) Vox illiterate.
Dalam morfologi, Priscia mengetengahkan tentang (1) nomen, (2) verbum, (3) participium, (4) pronomen, (5) adverbium,
(6) praepositio, (7) interjection, dan (8) conjunction.
Menurut Tata
Bahasa Priscia, kalimat Bapak sare,
kula siram, ‘Bapak tidur, saya
mandi’ terdiri dari:
Bapak ‘Bapak’ : nomen
Sare ‘tidur’ : verbum
Kula ‘saya’ : nomen
Siram ‘mandi’ : verbum
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Tahap perkembangan bahasa terdiri atas tahap spekulasi, klasifikasi, dan
rumusan teori. Aliran tradisional baru mencapai tahap spekulasi dan
klasifikasi.
2.
Ciri-ciri aliran tradisional bertolak dari pola pikir secara filosofis,
tidak membedakan bahasa dan tulisan, senang bermain dengan definisi, pemakaian
bahasa berkiblat pada pola/kaidah, level-level gramatik belum ditata secara
rapi, tata bahasa didominasi oleh jenis kata (part of speech).
3.
Aliran tradisional juga memiliki banyak kelebihan dan kelemahan.
4.
Linguistik tradisional sering dipertentangkan dengan bahasa struktural,
bedanya tata bahasa tradisional menganalisis bahasa pada filsafat dan semantik,
sedangkan tata bahasa struktural berdasarkan struktur/ciri formal yang ada pada
suatu bahasa tertentu.
5.
Zaman-zaman yang terdapat pada aliran tradisional adalah sebagai berikut:
a.
Linguistik Zaman Yunani.
b.
Linguistik Zaman Romawi.
c.
Linguistik Zaman Pertengahan.
d.
Zaman Renaissans.
e.
Menjelang Lahirnya Linguistik Modern.
6.
Analisis kalimat
Bapak turu, kula siram
berdasarkan linguistik tradisional,
yaitu:
a.
Berdasarkan
intonasi, kalimat ini adalah kalimat berita.
b.
Berdasarkan
jenis kata yang mengisi predikat, kalimat ini termasuk kalimat verba.
c.
Berdasarkan
keperluan terhadap objek, kalimat ini termasuk kalimat intransitif murni (tidak
membutuhkan objek).
d.
Berdasarkan
subjek yang melakukan pekerjaan, kalimat ini termasuk kalimat aktif.
e.
Berdasarkan
susunan subjek-predikat, kalimat ini termasuk kalimat normal (inversi).
f.
Berdasarkan
kelengkapan fungsi, kalimat ini termasuk kalimat lengkap.
g.
Berdasarkan
jumlah pola, kalimat ini termasuk kalimat majemuk karena terdiri dari 2 kalimat
tunggal, yaitu:
1)
Bapak sare.
2)
Kula siram.
Kalimat tersebut memang
tidak dihubungkan oleh konjungsi secara eksplisit, tetapi dihubungkan oleh
tanda koma (,) yang secara implisit menghubungkan kalimat tersebut.
B. Saran
1.
Makalah tentang aliran tradisional ini hendaknya dapat menjadi sumber
belajar untuk mengadakan pengkajian aliran ini di masa mendatang.
2.
Makalah ini masih terbatas pada pembahasan tentang sejarah, ciri-ciri,
kelebihan dan kelemahan aliran tradisional, dan zaman-zaman yang terdapat pada
aliran tradisional. Pada pengkajian selanjutnya diharapkan lebih mendalam dan
lebih luas.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Soeparno. 2002. Dasar-dasar
Linguistik Umum. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
http://tasliati.blogspot.com/2013/12/aliran-linguistik-tradisional.html.
unduh pada 3 Desember 2013.
Laba Nur Songo. Makalah
Linguistik Tradisional.
http://labanursongo.blogspot.com/2013/12/makalah-linguistik-tradisional.html.
unduh pada 3 Desember 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar