1.
Heru Susanto (Pengunggah)
2.
Huda Setiawan
3. Sri Asih
Pendahuluan
Pada
umumnya, studi linguistik telah mengalami tiga tahap perkembangan, yaitu dari
tahap pertama yang disebut tahap spekulasi, tahap kedua yang disebut tahap
observasi dan klasifikasi, dan tahap ketiga yang disebut tahap perumusan teori.
Pada tahap spekulasi, pernyataan-pernyataan tentang bahasa tidak didasarkan
pada data empiris, melainkan pada dongeng atau cerita rekaan. Chaer (1994: 332) menunjukkan bahwa bukti
ketidakempirisan tersebut dapat ditunjukkan dengan pendapat Andreas Kemke,
seorang ahli filologi dari Swedia pada abad ke-17 yang menyatakan bahwa Nabi Adam dulu di surga berbicara dalam bahasa
Denmark, sedangkan ular berbicara dalam bahasa Prancis. Pernyataan tersebut
sulit dibuktikan kebenarannya karena tidak didukung dengan bukti empiris.
Pendapat yang sama juga dikatakan bahwa fenomena suku Dayak Iban di Kalimantan
yang menyatakan bahwa manusia hanya memiliki satu bahasa, tetapi mereka mabuk
cendawan sehingga mereka menjadi berbicara pada pelbagai bahasa.
Pada
tahap klasifikasi dan observasi, para ahli bahasa mengadakan pengamatan dan
penggolongan-penggolongan terhadap bahasa yang diteliti, tetapi belum sampai
pada perumusan teori. Pada tahap ketiga, penelitian bahasa sudah dikatakan
ilmiah karena tidak sekadar berspekulasi, mengobservasi, dan mengklasifikasi,
tetapi sudah sampai perumusan teori.
1.
ALIRAN
TRADISIONAL
Aliran linguistik yang akan dikaji mulai dari aliran
yang paling tradisional sampai dengan modern. Mulai dari proses berspekulasi
sampai dengan menghasilkan teori. Untuk lebih jelas, dipaparkan aliran
tradisional pada setiap zaman. Chaer (1994:333) menyatakan ada lima zaman yang
dijelaskan pada aliran tradisional ini, yakni zaman Yunani, Romawi,
Pertengahan, Renaisans, dan menuju modern. Berikut penjelasannya.
1) Zaman
Yunani
Pada
zaman Yunani ini, terdapat dua pasang perbedaan yang menjadi benturan-benturan
pola pikir antarkaum, misalnya, para filsuf Yunani mempertanyakan apakah bahasa
itu bersifat fisis (alami) atau konvensi (nomos). Kaum naturalis
menganggap bahwa bahasa itu bersifat fisis (alami) ditunjukkan dengan
bentuk-bentuk anomatope (tiruan
bunyi). Padangan tersebut dibantah oleh kaum konvensional; mereka menganggap
bahwa anomatope itu terjadi secara
kebetulan. Bahasa itu bersifat konvensional. Artinya, bahasa terbentuk karena
adanya suatu kebiasaan atau tradisi yang bisa berubah.
Pateda (2011: 122)
menyatakan bahwa cara kaum konvensional mendefinisikan
kelas
kata, misalnya, kata sifat ialah kata yang menyatakan sifat atau keadaan, kata
bilangan ialah kata yang menunjukkan jumlah kata atau urutan. Padahal, tidak
semuanya begitu, apalagi kalau kata itu mengalami perubahan bentuk.
Cuplikan
tersebut bermaksud bahwa kelas kata mengalami perubahan, artinya makna suatu
kata dapat berubah dari hasil tradisi yang mempunyai kemungkinan bisa berubah.
Hal yang sama diungkapkan oleh Alwasilah (2011: 174) menyatakan bahwa pada
aliran tradisional pembagian jenis kata didasarkan pada makna dan sedikit pada
fungsi.
Selain
dua hal tersebut, Chaer menyebutkan ada pertentangan lain, yakni analogi dan
anomali menyangkut masalah bahasa itu sesuatu yang teratur atau tidak teratur.
Kaum analogi, antara lain Plato dan Aristoteles berpendapat bahwa bahasa itu
bersifat teratur. Keteraturan bahasa itu tampak pada kasus pembentukan jamak
bahasa Inggris, yakni boy
boys, girl girls, dan book
books. Hal tersebut juga berlaku pada bahasa Arab. Sebaliknya, kaum
anomali berpendapat bahwa bahasa itu bersifat tidak teratur tampak pada
beberapa kata dalam bahasa Inggris, yakni child
menjadi children, bukannya childs, dst.
Dengan
demikian, kaum anomali sejalan dengan kaum naturalis, sedangkan kaum analogi
sejalan dengan kaum konvensional.
Dalam
bukunya Alwasilah (2011: 173) menyebut ada enam karakteristik bahasa pada
aliran tradisional, yakni
a. Menafsirkan
kalimat berdasarkan arti dan tujuan.
b. Pembagian
jenis kata didasarkan pada makna dan sedikit pada fungsi.
c. Fungsi
sintaksis terbagi menjadi subjek, predikat, objek, kata, frasa, klausa, kalimat
transitif, dan intransitif.
d. Pemerian
terutama didasarkan pada bahasa tulisan.
e. Tidak
mengindahkan ragam bahasa.
f. Bersifat
prespektif.
Beberapa
kaum yang lahir pada zaman Yunani ini, yakni kaum Sophis (abad ke-5 S.M.). Kaum
Shopis mementingkan retorika dalam studi bahasa. Kaum Plato (429—347 S.M.),
Plato memperdebatkan mengenai analogi dengan anomali dalam bukunya Dialog. Selain itu, Plato juga
mengemukakan mengenai bahasa alamiah dan konvensional. Plato membagi bahasa
menjadi onomata dan rhemata. Oleh Aristoteles (384—322
S.M.), Aristoteles menambahkan satu kelas kata atas Plato, yakni syndesmoi. Jadi menurut Aristoteles
kelas kata ada tiga, yakni onoma, rhema,
dan syndesmoi (preposisi dan konjungsi). Aristoteles juga membedakan jenis
kelamin kata menjadi tiga, yakni maskulis,
feminine, dan neuturm.
2) Zaman
Romawi
Pada
zaman Romawi, studi bahasa merupakan kelanjutan dari zaman Yunani. Tokoh yang
terkenal adalah Varro dan “De Lingua
Latina”. Dalam buku tersebut, disebutkan ada tiga pembahasan penting, yakni
pembahasan mengenai etimologi, morfologi, dan sintaksis.
Etimologi
merupakan cabang ilmu linguistik beserta artinya. Misalnya, kata “duellum” menjadi belum. Kelemahan
pembahasan etimologi pada masak Varro adalah dia menganggap kata-kata Latin dan
Yunani yang harus direkonstruksikan kembali kepada satu bahasa purba atau
bahasa proto yang lebih tua.
Morfologi
adalah cabang linguistik yang mempelajari kata dan pembentukannya. Menurut
Varro, dalam bukunya Chaer (1994: 338) menyatakan bahwa kata adalah bagian dari
ucapan yang tidak dapat dipisahkan lagi. Menurutnya, dalam bahasa Latin, ada
kata-kata yang terjadi secara analogi dan ada pula yang terjadi secara anomali.
3) Zaman
Pertengahan
Studi
bahasa pada zaman pertengahan di Eropa mendapat perhatian penuh terutama oleh
filsuf skolastik dan bahasa Latin
menjadi lingua franca karena dipakai
sebagai bahasa gereja, diplomasi, dan ilmu pengetahuan. Dari zaman pertengahan
ini, perlu dibicarakan mengenai Kaum Modistae,
Tata Bahasa Spekulative, dan Petrus Hippanus.
Kaum
Modistae masih membicarakan mengenai pertentangan antara fisis dengan nomos,
dan pertentangan analogi dan anomali yang banyak disinggung pada zaman Yunani.
Kaum ini lebih menerima konsep analogi karena bahasa bersifat regular dan
universal. Kaum ini memperhatikan semantik dan mencari sumber semantik sehingga
akan memungkinkan muncul pembahasan etimologi di sini.
Tata
Bahasa Spekulative merupakan hasil
integrasi deskripsi gramatikal bahasa Latin ke dalam filsafat skolastik.
Menurut kaum ini, kata tidak langsung mewakili alam yang ditunjuk, tetapi kata
hanya mewakili hal adanya benda itu dalam berbagai cara, modus, substansi,
aksi, dan kualitas.
Jadi,
pada zaman pertengahan adanya konsep pemikiran yang mengalami kemajuan dan
muncul tali berantai mengenai linguistik dari zaman Yunani. Persamaan antara
zaman Yunani dengan zaman Pertengahan bahwa suatu kata tetap merujuk pada aspek
semantik atau makna.
4) Zaman
Renaisans
Chaer
(2011: 342) menyebutkan bahwa zaman Renaisans disebut juga sebagai zaman
pembukaan abad pemikiran modern. Pateda (2011) menyebutkan bahwa zaman
Renaisans disebut juga sebagai zaman peralihan. Pada zaman Renaisans ada dua
hal penting yang perlu dicatat, yakni (1) selain menguasai bahasa Latin, banyak
sarjana menguasai bahasa Yunani, Ibrani, dan Arab; (2) selain bahasa-bahasa tersebut,
bahasa Eropa juga mendapatkan perhatian dalam bentuk pembahasan, penyusunan
tata bahasa, dan malah membandingkan. Masa berakhirnya zaman Renaisans dan masa
lahirnya linguistik modern merupakan hal yang sangat penting dalam studi
bahasa.
5) Zaman
menuju modern
Hal
yang dianggap penting adalah munculnya hubungan kekerabatan antara bahasa
Sansekerta dengan bahasa Yunani, Latin, dan bahasa Jerman lainnya. Hal tersebut
dikemukakan oleh Sir William Jones bahwa itu telah membuka babak baru sejarah
linguistik, yakni dengan berkembangnya studi linguistik historis komparatif;
serta study mengenai hakikat bahasa secara linguistik.
Dapat
disimpulkan pembahasan mengenai linguistik tradisional sebagai berikut.
(a) Pada
tata bahasa tradisional ini tidak dikenal perbedaan antara bahasa ujaran dengan
bahasa tulisan. Oleh karena itu, deskripsi bahasa hanya bertumpu pada bahasa
tulisan.
(b) Bahasa
yang disusun tata bahasanya dideskripsikan dengan mengambil pedoman dari bahasa
lain, terutama dari bahasa Latin.
(c) Kaidah-kaidah
dibuat secara prespektif, yakni benar atau salah.
(d) Persoalan
kebahasaan seringkali dideskripsikan dengan menggunakan logika.
(e) Penemuan-penemuan
atau kaidah terdahulu cenderung dipertahankan.
2.
ALIRAN
STRUKTURAL
2.1 Aliran Ferdinand de Sausure
Linguistik strukturalis berusaha mendeskripsikan
suatu bahasa berdasarkan ciri sifat khas yang dimiliki bahasa. Pandangan ini
adalah sebagai akibat dari konsep-konsep atau pandangan baru terhadap studi
bahasa yang diungkapkan oleh Ferdinand de Sausure.
Tokoh yang paling dominan pada aliran strukturalis
ini adalah Ferdinand de Sausure. Ferdinand de Sausure (1857—1913) dianggap
sebagai Bapak Linguistik Modern berdasarkan pandangan-pandangan yang dimuat
dalam bukunya Course de Linguistique
Generale yang disusun dan diterbitkan oleh Charles Bally dan Albert
Sechehay tahun 1915.
Pandangan yang dimuat dalam buku Course de Linguistique Generale mengenai
konsep pilahan dikotomis: (1) telaah sinkronik dan diakronik, (2) perbedaan langue dan parole, (3) perbedaan significant dan signifie, dan (4) hubungan sintagmatik dan paradigmatik banyak
berpengaruh dalam perkembangan linguistik.
Yang dimaksud dengan telaah sinkronik menurut Chaer
(1994: 347) adalah mempelajari suatu
bahasa pada suatu kurun waktu saja.
Telaah diakronik adalah telaah
bahasa sepanjang masa atau sepanjang zaman bahasa itu digunakan oleh penuturnya.
Sama halnya dengan Samsuri (1988: 13) menyatakan bahwa sinkronik adalah
mempelajari bahasa dilakukan pada suatu waktu
tertentu. Diakronik dalam bukunya Samsuri menyebutkan bahwa adanya perbedaan
antara ‘diakronik’ dengan ‘historis’ meskipun terdapat kenyataan bahwa secara
tradisional ‘linguistik historis’ berarti ‘linguistik diakronik’. Kencono
(1982: 131) pembahasan diakronis dalam bukunya Kencono disebut sebagai pembahasa
bahasa yang terjadi dari waktu ke waktu, sedangkan sinkronis merupakan studi
bahasa yang dilakukan dalam waktu tertentu saja.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
sinkronik mengaji bahasa pada waktu tertentu. Misalnya, mengaji bahasa khusus pada
tahun 1930an. Berbeda dengan diakronik studi bahasa yang melibatkan
keadaan-keadaan bahasa sebelumnya. Artinya, diakronik membahas runtutas
pembahasan bahasa berdasarkan masing-masing urutan waktu.
Selain sinkronik dan diakronik, langue dan parole
juga merupakan pilahan dikotomis Ferdinand de Sausure. Samsuri (1988: 15) langue yang bersifat abstrak, sedangkan parole bersifat konkrit. Keduanya
dihubungkan: parole adalah aspek perseorangan bahasa, sebagaimana
dimanifestasikan dalam kenyataan psiko-fisiologi dan sosial dari tindak bahasa secara khusus. Kencono
(1982: 132)
Pembedaan lain yang dilakukan oleh
Sausure adalah pembedaan antara langue
dan parole. Yang pertama adalah
keseluruhan sistem tanda (signe) yang
berfungsi sebagai alat komunikasi antara para anggota suatu masyarakat bahasa
yang bersifat abstrak. Yang kedua adalah pemakaian langue oleh masing-masing
anggota masyarakat bahasa sifatnya konkret karena parole tidak lain merupakan realitas fisis yang berbeda antara
orang satu dengan yang lain.
Pengertian tersebut sama halnya dengan yang dibahas
Ferdinand de Sausure dalam Samsuri
(1988: 15)
Langue dan parole sebagai pembeda antara
bahasa sebagai sistem yang bersifat sosial dan bahasa sebagai sebagai ujaran
yang bersifat perseorangan, dan langue bersifat abstrak, sedangkan parole
bersifat konkret.
Agaknya, antara Samsuri dan Kencono memiliki
kesamaan pemikiran dengan Caher. Ferdinand de Sausure (dalam Caher. 1994: 347)
menyebutkan
langue adalah keseluruhan sistem tanda
keseluruhan sistem tanda yang berfungsi sebagai alat komunikasi verbal antara
para anggota suatu masyarakat bahasa yang bersifat abstrak. Parole merupakan
realisasi langue oleh masing-masing anggota masyarakat yang bersifat konkret.
Dari pengertian yang diberikan oleh Ferdinand de
Sausure yang terdapat dalam buku-buku di atas dapat ditarik simpulan bahwa parole bersifat konkret, sedangkan langue bersifat abstrak. Artinya, parole adalah objek konkretnya,
sedangkan langue adalah abstraksi
bahasanya. Hal tersebut tampaknya sama dengan segitiga semantik. Langue adalah lambangnya, sedangkan parole adalah referennya.
Signifiant
dan signifie. Ferdinand de Sausure (dalam
Chaer. 1994: 348) mengemukakan teori bahwa setiap tanda atau tanda linguistik (signe atau signelinguistique) dibentuk oleh dua buah komponen yang tidak
terpisahkan, yaitu komponen signifiant
dan komponen signifie. Signifiant adalah citra bunyi yang
timbul dalam pikiran kita, sedangkan signifie
adalah makna.
Hubungan sintagmatik dan paradigmatik. Hubungan sintagmatik
dan hubungan asosiatif (yang sekarang
lebih dikenal dengan paradigmatik). Hubungan sintagmatik adalah hubungan antara
unsur-unsur yang terdapat dalam suatu tuturan. Unsur itu tersusun secara berurutan
dan bersifat linier. Hubungan paradigmatik adalah hubungan antara unsur-unsur
sejenis yang tidak terdapat dalam tuturan yang bersangkutan.
2.2 Aliran
Praha
2.2.1 Fonologi
Aliran Praha terbentuk pada tahun 1926 atas prakarsa
salah seorang tokohnya, yaitu Vilem Mathesius (1882—1945). Tokoh-tokoh lainnya
adalah Nikolai S.Trubetskoy, Roman Jakobson, dan Mprris Halle. Pengaruh mereka
sangat besar pada bidang fonologi.
Dalam bidang fonologi, aliran Praha inilah yang
pertama-tama membedakan dengan tegas akan fonetik dan fonologi. Fonetik
mempelajari bunyi-bunyi bahasa itu sendiri dan fonologi mempelajari tentang
fungsi bunyi itu sendiri.
Struktur bunyi dilakukan secara kontras atau
oposisi. Ukuran apakah bunyi tersebut beroposisi atau tidak adalah makna. Bunyi
bahasa yang membedakan makna disebut dengan distingtif.
2.2.2
Morfonologi
Selain dari struktur bunyi, aliran Praha (Samsuri.
1988: 21) juga mengemukakan mengenai kata dan kelompok kata. Aliran Praha
menemukan:
(1) Teori
mengenai pemberian nama. Menurut teori pemberian nama, kata terbentuk sebagai
akibat kegiatan pemberian nama yang menguraikan realitas ke dalam unsur-unsur
yang dapat dimengerti ke dalam ilmu bahasa.
(2) Teori
mengenai proses sintagmatik, terutama mengenai tindak predikasi.
(3) Teori
mengenai sistem bentuk-bentuk kata atau bentuk-bentuk kelompok, atau morfologi
yang tidak sejajar dengan teori pemberian nama dan proses sintagmatik, tetapi
yang memotong keduanya.
Pembahasan mengenai morfologi dikemukakan oleh salah
seorang tokoh aliran Praha, Nikolay S. Trubetzkoy (1890—1938) (Kencono. 1982:
138). Bidang ini meneliti perubahan-perubahan fonologis yang terjadi sebagai
akibat hubungan antarmorfem (Chaer. 1994: 353).
2.2.3 Sintaksis
Dalam bidang sintaksis, Vilem Mathesius mencoba
menelaah kalimat melalui pendekatan fungsional. Menurut pendekatan ini kalimat
dapat dilihat dari struktur formal dan dapat pula dilihat dari struktur
informasinya. Struktur formal menyangkut mengenai fungsi gramatikalnya,
sedangkan struktur informasinya menyangkut tema (apa yang dibicarakan) dan rema
(apa yang dikatakan mengenai tema). Tampaknya, pada pembahasan mengenai
sintaksis ini terbagi menjadi dua pembahasan, yakni fungsi gramatika dan
pragmatik (tema dan rema).
Dengan demikian, pada aliran Praha ini singkat membahas
mengenai fonologi, morfonologi, dan sintaksis.
2.3 Aliran
Glosematik
Aliran Glosematik lahir di Denmark; tokohnya, antara
lain, Louis Hjemslev (1899—1965) yang meneruskan ajaran Ferdinand de Sausure.
Menurut Hjemslev teori bahasa haruslah bersifat sembarang, artinya teori bahasa
merupakan suatu sistem deduktif semata-mata. Teori itu harus dapat dipakai
secara mandiri (Chaer. 1994:354)
Sejalan dengan pendapat de Saussure, Hjemselv
menganggap bahasa itu mengandung dua segi, yaitu segi ekspresi (menurut Saussure:
signifiant) dan segi isi (menurut Saussure: signifie). Masing-masing segi
mengandung forma dan substansi sehingga diperoleh (1) forma ekspresi, (2)
substansi ekspresi, (3) forma isi, dan (4) substansi isi (Chaer. 1994:354).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Hjemselv juga
menganggap bahasa sebagai suatu sistem hubungan; dan mengakui adanya sistem
sintagmatik dan paradigmatik seperti halnya dengan pandangan Saussure.
2.4 Aliran
Firthian
Nama John R. Firth (1890—1960), guru besae
Universitas London, yang sangat terkenal karena teorinya mengenai fonologi
prosodi. Fonologi prosodi adalah suatu cara untuk menentukan arti pada tataran
fonetis. Fonologi prosodi terdiri atas satuan fonematis dan satuan prosodi
(Kencono. 1982:140). Satuan fonematis adalah unsur-unsur segmental, konsonan,
dan vokal, sedangkan prosodi prosodi adalah ciri-ciri atau sifat-sifat struktur
yang lebih panjang dari satuan segmen panjang.
Ada tiga macam prosodi pokok.
(1) Prosodi
yang menyangkut gabungan fonem: struktur kata, suku kata, gabungan konsonan,
dan gabungan vokal.
(2) Prosodi yang terbentuk oleh sendi atau jeda.
(3) Prosodi
yang realisasi fonetisnya melampaui satuan yang lebih besar daripada
fonem-fonem suprasegmental.
2.5 Aliran
Linguistik Sistemik
Nama aliran linguistik sistemik tidak dapat
dilepaskan dari M.A.K. Halliday, yaitu salah seorang murid Firth yang
mengembangkan teori Firth mengenai bahasa, khususnya yang berkenaan dengan segi
kemasyarakatan bahasa. Sebagai penerus Firth dan berdasarkan karangan dengan
judul Categories of The Theoryof Grammar, maka teori yang dikembangkan oleh
Halliday. Kemudia muncul nama baru, yakni Systemic
Linguistics.
Pokok-pokok pandangan Systemic Linguistics (SL)
adalah:
(1) SL
memberikan perhatian penuh pada segi kemasyarakatan bahasa, terutama mengenai
fungsi kemasyarakatan bahasa.
(2) SL
memandang bahasa sebagai “pelaksana”. SL mengakui pentingnya pembedaan langue
dan parole (seperti yang dikemukakan oleh Saussure).
(3) SL
lebih mengutamakan pemberian cirri-ciri bahasa tertentu beserta variasinya.
(4) SL
mengenal adanya gradasi atau kontinum. Misalnya,mengenai bentuk-bentuk
gramatikal dan yang tidak gramatikal.
(5) SL
menggambarkan tiga tataran utama bahasa (substansi, forma, dan situasi) (Chaer.
1994: 357).
2.6 Aliran
Leonard Bloomfield
Nama Leonard Bloomfield (1877—1949) sangat terkenal
karena bukunya yang berjudul Language. Istilah strukturalis sebenarnya dapat
dikenakan kepada semua aliran linguistik sebab semua aliran linguistik pasti
berusaha menjelaskan seluk-beluk bahasa berdasarkan strukturnya. Namun, nama
strukturalisme lebih dikenal dan menyatu kepada nama aliran linguistik yang
dikembangkan oleh Bloomfield di Amerika. Pertama,
pada masa itu para linguis di Amerika menghadapi masalah yang sama, yakni
banyak sekali bahasa Indian di Amerika menghadapi belum diperikan. Kedua, sikap
Bloomfield yang menolak mentalistik sejalan dengan iklim filsafat yang
berkembang pada masa itu di Amerika, yaitu filsafat behaviorisme. Oleh karena
itu, dalam memerikan bahasa aliran srukturalisme ini selalu bedasarkan
fakta-fakta objektif sehingga mengenai makna kurang mendapatkan perhatian.
Bloomfield (1994: 360) Aliran strukturalis yang
dikembangkan Bloomfield dengan para pengikutnya sering juga disebut dengan
aliran taksonomi. Disebut dengan aliran taksonomi karena aliran ini menganalisis
dan mengklasifikasikan unsur-unsur bahasa berdasarkan hubungan hierarkinya.
2.7 Aliran
Tagmemik
Aliran Tagmemik dipelopori oleh Kenneth L. Pike,
seorang tokoh dari Summer Institute of
Linguistics yang mewarisi pandangan-pandangan Bloomfied sehingga aliran ini
satuan dari sintaksis adalah tagmem.
Chaer (1994: 361) Yang dimaksud dengan tagmem adalah
korelasi antara fungsi gramatikal atau slot dengan sekelompok bentuk-bentuk
kata yang dapat saling dipertukarkan untuk mengisi slot tersebut. Misalnya,
dalam kalimat Pena itu berada di atas
meja; bentuk pena itu mengisi
fungsi subjek, dan tagmem subjeknya dinyatakan dengan pena itu.
S KG P KKt O KB K FD
pel ak tuj al
Saya menulis surat dengan pensil
Keterangan:
S : fungsi subjek pel : pelaku
P : fungsi predikat ak : aktif
O : fungsi objek tuj : tujuan
K : fungsi keterangan al : alat
KG : kata ganti
KKt : kata kerja transitif
KB : kata benda
FD : frasa depan
2.3
LINGUISTIK TRANSFORMASIONAL
Dapat dikatakan tata bahasa transformasi
lahir dengan terbitnya buku Noam Chomsky yang berjudul Syntactic Stucture pada tahun 1957 yang kemudian dikembangkan
karena adanya kritik dan saran dari berbagai pihak, di dalam buku Chomsky yang
kedua yang berjudul Aspect of the Theory
of Syntax pada tahun 1965. Nama yang dikembangkan oleh Chomsky ini adalah Transformasional Generative Grammar;
tetapi dalam bahasa Indonesia lazim disebut tata bahasa transformasi atau tata
bahasa generatif. Menurut Chomsky merupakan teori dari bahasa itu sendiri; tata
bahasa harus memenuhi syarat, yaitu
(1) Kalimat
yang dihasilkan oleh tata bahasa itu harus dapat diterima oleh pemakai bahasa
tersebut sebagai kalimat yang wajar.
(2) Tata
bahasa harus berbentuk sedemikian rupa
sehingga satuan atau istilah yang digunakan tidak berdasarkan pada
gejala bahasa tertentu saja.
Sejalan dengan konsep langue dan parole dari
Saussure, Chomsky membedakan adanya kemampuan (competence) dan perbuatan
(performance) (Chaer. 1994: 364).
Menurut Chomsky dalam bukunya Leech (1974: 397)
teori klasif adalah
(a) Bahwa
struktur permukaan sintaksis adalah satu-satunya tingkat sintaksis yang relevan
dengan ketentuan interpretasi fonetik; dan (b) bahwa struktur dalam sintaksis
adalah satu-satunya tingkat sintaksis yang relevan dengan interpretasi
semantik. Yang kedua ini berakibat adanya prinsip bahwa kaidah transformasional
memelihara makna; artinya, kaidah itu sama sekali tidak mengubah makna struktur
yang dipakai untuk beroperasinya. Hal ini member simpulan bahwa semua kalimat
yang memili struktur dalam yang sama akan mempunyai makna yang sama.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer,
Abdul. 1994. Linguistik Umum.
Bandung: Rineka Cipta.
Kencono,
Djoko. 1982. Dasar-Dasar Linguistik.
Jakarta: UI Press.
Leech,
Geoffrey. 1974. Semantik. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Pateda,
Mansoer. 2011. Linguistik Sebuah
Pengantar. Bandung: Angkasa.
Samsuri.
1988. Berbagai Aliran Linguistik Abad XX.
Jakarta: Debdikbud,
Bagus, terimakasih atas ilmunya
BalasHapus