Sabtu, 14 Desember 2013

Aliran Linguistik


1.       Heru Susanto   (Pengunggah)
2.       Huda Setiawan
3.     Sri Asih              


Pendahuluan
Pada umumnya, studi linguistik telah mengalami tiga tahap perkembangan, yaitu dari tahap pertama yang disebut tahap spekulasi, tahap kedua yang disebut tahap observasi dan klasifikasi, dan tahap ketiga yang disebut tahap perumusan teori. Pada tahap spekulasi, pernyataan-pernyataan tentang bahasa tidak didasarkan pada data empiris, melainkan pada dongeng atau cerita rekaan.  Chaer (1994: 332) menunjukkan bahwa bukti ketidakempirisan tersebut dapat ditunjukkan dengan pendapat Andreas Kemke, seorang ahli filologi dari Swedia pada abad ke-17 yang menyatakan bahwa Nabi Adam dulu di surga berbicara dalam bahasa Denmark, sedangkan ular berbicara dalam bahasa Prancis. Pernyataan tersebut sulit dibuktikan kebenarannya karena tidak didukung dengan bukti empiris. Pendapat yang sama juga dikatakan bahwa fenomena suku Dayak Iban di Kalimantan yang menyatakan bahwa manusia hanya memiliki satu bahasa, tetapi mereka mabuk cendawan sehingga mereka menjadi berbicara pada pelbagai bahasa.
Pada tahap klasifikasi dan observasi, para ahli bahasa mengadakan pengamatan dan penggolongan-penggolongan terhadap bahasa yang diteliti, tetapi belum sampai pada perumusan teori. Pada tahap ketiga, penelitian bahasa sudah dikatakan ilmiah karena tidak sekadar berspekulasi, mengobservasi, dan mengklasifikasi, tetapi sudah sampai perumusan teori.
1.      ALIRAN TRADISIONAL
Aliran linguistik yang akan dikaji mulai dari aliran yang paling tradisional sampai dengan modern. Mulai dari proses berspekulasi sampai dengan menghasilkan teori. Untuk lebih jelas, dipaparkan aliran tradisional pada setiap zaman. Chaer (1994:333) menyatakan ada lima zaman yang dijelaskan pada aliran tradisional ini, yakni zaman Yunani, Romawi, Pertengahan, Renaisans, dan menuju modern. Berikut penjelasannya.


1)      Zaman Yunani
Pada zaman Yunani ini, terdapat dua pasang perbedaan yang menjadi benturan-benturan pola pikir antarkaum, misalnya, para filsuf Yunani mempertanyakan apakah bahasa itu bersifat fisis (alami) atau konvensi (nomos). Kaum naturalis menganggap bahwa bahasa itu bersifat fisis (alami) ditunjukkan dengan bentuk-bentuk anomatope (tiruan bunyi). Padangan tersebut dibantah oleh kaum konvensional; mereka menganggap bahwa anomatope itu terjadi secara kebetulan. Bahasa itu bersifat konvensional. Artinya, bahasa terbentuk karena adanya suatu kebiasaan atau tradisi yang bisa berubah.
Pateda (2011: 122) menyatakan bahwa cara kaum konvensional mendefinisikan
kelas kata, misalnya, kata sifat ialah kata yang menyatakan sifat atau keadaan, kata bilangan ialah kata yang menunjukkan jumlah kata atau urutan. Padahal, tidak semuanya begitu, apalagi kalau kata itu mengalami  perubahan bentuk.

Cuplikan tersebut bermaksud bahwa kelas kata mengalami perubahan, artinya makna suatu kata dapat berubah dari hasil tradisi yang mempunyai kemungkinan bisa berubah. Hal yang sama diungkapkan oleh Alwasilah (2011: 174) menyatakan bahwa pada aliran tradisional pembagian jenis kata didasarkan pada makna dan sedikit pada fungsi.
Selain dua hal tersebut, Chaer menyebutkan ada pertentangan lain, yakni analogi dan anomali menyangkut masalah bahasa itu sesuatu yang teratur atau tidak teratur. Kaum analogi, antara lain Plato dan Aristoteles berpendapat bahwa bahasa itu bersifat teratur. Keteraturan bahasa itu tampak pada kasus pembentukan jamak bahasa Inggris, yakni boy             boys, girl        girls, dan book         books. Hal tersebut juga berlaku pada bahasa Arab. Sebaliknya, kaum anomali berpendapat bahwa bahasa itu bersifat tidak teratur tampak pada beberapa kata dalam bahasa Inggris, yakni child menjadi children, bukannya childs, dst.
Dengan demikian, kaum anomali sejalan dengan kaum naturalis, sedangkan kaum analogi sejalan dengan kaum konvensional.
Dalam bukunya Alwasilah (2011: 173) menyebut ada enam karakteristik bahasa pada aliran tradisional, yakni
a.       Menafsirkan kalimat berdasarkan arti dan tujuan.
b.      Pembagian jenis kata didasarkan pada makna dan sedikit pada fungsi.
c.       Fungsi sintaksis terbagi menjadi subjek, predikat, objek, kata, frasa, klausa, kalimat transitif, dan intransitif.
d.      Pemerian terutama didasarkan pada bahasa tulisan.
e.       Tidak mengindahkan ragam bahasa.
f.       Bersifat prespektif.
Beberapa kaum yang lahir pada zaman Yunani ini, yakni kaum Sophis (abad ke-5 S.M.). Kaum Shopis mementingkan retorika dalam studi bahasa. Kaum Plato (429—347 S.M.), Plato memperdebatkan mengenai analogi dengan anomali dalam bukunya Dialog. Selain itu, Plato juga mengemukakan mengenai bahasa alamiah dan konvensional. Plato membagi bahasa menjadi onomata dan rhemata. Oleh Aristoteles (384—322 S.M.), Aristoteles menambahkan satu kelas kata atas Plato, yakni syndesmoi. Jadi menurut Aristoteles kelas kata ada tiga, yakni onoma, rhema, dan syndesmoi (preposisi dan konjungsi). Aristoteles juga membedakan jenis kelamin kata menjadi tiga, yakni maskulis, feminine, dan neuturm.
2)      Zaman Romawi
Pada zaman Romawi, studi bahasa merupakan kelanjutan dari zaman Yunani. Tokoh yang terkenal adalah Varro dan “De Lingua Latina”. Dalam buku tersebut, disebutkan ada tiga pembahasan penting, yakni pembahasan mengenai etimologi, morfologi, dan sintaksis.
Etimologi merupakan cabang ilmu linguistik beserta artinya. Misalnya, kata “duellum” menjadi belum. Kelemahan pembahasan etimologi pada masak Varro adalah dia menganggap kata-kata Latin dan Yunani yang harus direkonstruksikan kembali kepada satu bahasa purba atau bahasa proto yang lebih tua.
Morfologi adalah cabang linguistik yang mempelajari kata dan pembentukannya. Menurut Varro, dalam bukunya Chaer (1994: 338) menyatakan bahwa kata adalah bagian dari ucapan yang tidak dapat dipisahkan lagi. Menurutnya, dalam bahasa Latin, ada kata-kata yang terjadi secara analogi dan ada pula yang terjadi secara anomali.



3)      Zaman Pertengahan
Studi bahasa pada zaman pertengahan di Eropa mendapat perhatian penuh terutama oleh filsuf skolastik  dan bahasa Latin menjadi lingua franca karena dipakai sebagai bahasa gereja, diplomasi, dan ilmu pengetahuan. Dari zaman pertengahan ini, perlu dibicarakan mengenai Kaum Modistae, Tata Bahasa Spekulative, dan Petrus Hippanus
Kaum Modistae masih membicarakan mengenai pertentangan antara fisis dengan nomos, dan pertentangan analogi dan anomali yang banyak disinggung pada zaman Yunani. Kaum ini lebih menerima konsep analogi karena bahasa bersifat regular dan universal. Kaum ini memperhatikan semantik dan mencari sumber semantik sehingga akan memungkinkan muncul pembahasan etimologi di sini.
Tata Bahasa Spekulative merupakan hasil integrasi deskripsi gramatikal bahasa Latin ke dalam filsafat skolastik. Menurut kaum ini, kata tidak langsung mewakili alam yang ditunjuk, tetapi kata hanya mewakili hal adanya benda itu dalam berbagai cara, modus, substansi, aksi, dan kualitas. 
Jadi, pada zaman pertengahan adanya konsep pemikiran yang mengalami kemajuan dan muncul tali berantai mengenai linguistik dari zaman Yunani. Persamaan antara zaman Yunani dengan zaman Pertengahan bahwa suatu kata tetap merujuk pada aspek semantik atau makna.
4)      Zaman Renaisans
Chaer (2011: 342) menyebutkan bahwa zaman Renaisans disebut juga sebagai zaman pembukaan abad pemikiran modern. Pateda (2011) menyebutkan bahwa zaman Renaisans disebut juga sebagai zaman peralihan. Pada zaman Renaisans ada dua hal penting yang perlu dicatat, yakni (1) selain menguasai bahasa Latin, banyak sarjana menguasai bahasa Yunani, Ibrani, dan Arab; (2) selain bahasa-bahasa tersebut, bahasa Eropa juga mendapatkan perhatian dalam bentuk pembahasan, penyusunan tata bahasa, dan malah membandingkan. Masa berakhirnya zaman Renaisans dan masa lahirnya linguistik modern merupakan hal yang sangat penting dalam studi bahasa.


5)      Zaman menuju modern
Hal yang dianggap penting adalah munculnya hubungan kekerabatan antara bahasa Sansekerta dengan bahasa Yunani, Latin, dan bahasa Jerman lainnya. Hal tersebut dikemukakan oleh Sir William Jones bahwa itu telah membuka babak baru sejarah linguistik, yakni dengan berkembangnya studi linguistik historis komparatif; serta study mengenai hakikat bahasa secara linguistik.
Dapat disimpulkan pembahasan mengenai linguistik tradisional sebagai berikut.
(a)    Pada tata bahasa tradisional ini tidak dikenal perbedaan antara bahasa ujaran dengan bahasa tulisan. Oleh karena itu, deskripsi bahasa hanya bertumpu pada bahasa tulisan.
(b)   Bahasa yang disusun tata bahasanya dideskripsikan dengan mengambil pedoman dari bahasa lain, terutama dari bahasa Latin.
(c)    Kaidah-kaidah dibuat secara prespektif, yakni benar atau salah.
(d)   Persoalan kebahasaan seringkali dideskripsikan dengan menggunakan logika.
(e)    Penemuan-penemuan atau kaidah terdahulu cenderung dipertahankan.
2.      ALIRAN STRUKTURAL
2.1 Aliran Ferdinand de Sausure
Linguistik strukturalis berusaha mendeskripsikan suatu bahasa berdasarkan ciri sifat khas yang dimiliki bahasa. Pandangan ini adalah sebagai akibat dari konsep-konsep atau pandangan baru terhadap studi bahasa yang diungkapkan oleh Ferdinand de Sausure.
Tokoh yang paling dominan pada aliran strukturalis ini adalah Ferdinand de Sausure. Ferdinand de Sausure (1857—1913) dianggap sebagai Bapak Linguistik Modern berdasarkan pandangan-pandangan yang dimuat dalam bukunya Course de Linguistique Generale yang disusun dan diterbitkan oleh Charles Bally dan Albert Sechehay tahun 1915.
Pandangan yang dimuat dalam buku Course de Linguistique Generale mengenai konsep pilahan dikotomis: (1) telaah sinkronik dan diakronik, (2) perbedaan langue dan parole, (3) perbedaan significant dan signifie, dan (4) hubungan sintagmatik dan paradigmatik banyak berpengaruh dalam perkembangan linguistik.

Yang dimaksud dengan telaah sinkronik menurut Chaer (1994: 347) adalah mempelajari suatu bahasa pada suatu kurun waktu saja.  Telaah diakronik adalah telaah bahasa sepanjang masa atau sepanjang zaman bahasa itu digunakan oleh penuturnya. Sama halnya dengan Samsuri (1988: 13) menyatakan bahwa sinkronik adalah mempelajari bahasa  dilakukan pada suatu waktu tertentu. Diakronik dalam bukunya Samsuri menyebutkan bahwa adanya perbedaan antara ‘diakronik’ dengan ‘historis’ meskipun terdapat kenyataan bahwa secara tradisional ‘linguistik historis’ berarti ‘linguistik diakronik’. Kencono (1982: 131) pembahasan diakronis dalam bukunya Kencono disebut sebagai pembahasa bahasa yang terjadi dari waktu ke waktu, sedangkan sinkronis merupakan studi bahasa yang dilakukan dalam waktu tertentu saja.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sinkronik mengaji bahasa pada waktu tertentu. Misalnya, mengaji bahasa khusus pada tahun 1930an. Berbeda dengan diakronik studi bahasa yang melibatkan keadaan-keadaan bahasa sebelumnya. Artinya, diakronik membahas runtutas pembahasan bahasa berdasarkan masing-masing urutan waktu.
Selain sinkronik dan diakronik, langue dan parole juga merupakan pilahan dikotomis Ferdinand de Sausure. Samsuri (1988: 15) langue yang bersifat abstrak, sedangkan parole bersifat konkrit. Keduanya dihubungkan: parole adalah aspek perseorangan bahasa, sebagaimana dimanifestasikan dalam kenyataan psiko-fisiologi  dan sosial dari tindak bahasa secara khusus. Kencono (1982: 132)
Pembedaan lain yang dilakukan oleh Sausure adalah pembedaan antara langue dan parole. Yang pertama adalah keseluruhan sistem tanda (signe) yang berfungsi sebagai alat komunikasi antara para anggota suatu masyarakat bahasa yang bersifat abstrak. Yang kedua adalah pemakaian langue oleh masing-masing anggota masyarakat bahasa sifatnya konkret karena parole tidak lain merupakan realitas fisis yang berbeda antara orang satu dengan yang lain.

Pengertian tersebut sama halnya dengan yang dibahas Ferdinand de Sausure  dalam Samsuri (1988: 15)
Langue dan parole sebagai pembeda antara bahasa sebagai sistem yang bersifat sosial dan bahasa sebagai sebagai ujaran yang bersifat perseorangan, dan langue bersifat abstrak, sedangkan parole bersifat konkret.



Agaknya, antara Samsuri dan Kencono memiliki kesamaan pemikiran dengan Caher. Ferdinand de Sausure (dalam Caher. 1994: 347) menyebutkan
langue adalah keseluruhan sistem tanda keseluruhan sistem tanda yang berfungsi sebagai alat komunikasi verbal antara para anggota suatu masyarakat bahasa yang bersifat abstrak. Parole merupakan realisasi langue oleh masing-masing anggota masyarakat yang bersifat konkret.

Dari pengertian yang diberikan oleh Ferdinand de Sausure yang terdapat dalam buku-buku di atas dapat ditarik simpulan bahwa parole bersifat konkret, sedangkan langue bersifat abstrak. Artinya, parole adalah objek konkretnya, sedangkan langue adalah abstraksi bahasanya. Hal tersebut tampaknya sama dengan segitiga semantik. Langue adalah lambangnya, sedangkan parole adalah referennya.
Signifiant dan signifie. Ferdinand de Sausure (dalam Chaer. 1994: 348) mengemukakan teori bahwa setiap tanda atau tanda linguistik (signe atau signelinguistique) dibentuk oleh dua buah komponen yang tidak terpisahkan, yaitu komponen signifiant dan komponen signifie. Signifiant adalah citra bunyi yang timbul dalam pikiran kita, sedangkan signifie adalah makna.
Hubungan sintagmatik dan paradigmatik. Hubungan sintagmatik dan  hubungan asosiatif (yang sekarang lebih dikenal dengan paradigmatik). Hubungan sintagmatik adalah hubungan antara unsur-unsur yang terdapat dalam suatu tuturan. Unsur itu tersusun secara berurutan dan bersifat linier. Hubungan paradigmatik adalah hubungan antara unsur-unsur sejenis yang tidak terdapat dalam tuturan yang bersangkutan. 
2.2  Aliran Praha
2.2.1 Fonologi
Aliran Praha terbentuk pada tahun 1926 atas prakarsa salah seorang tokohnya, yaitu Vilem Mathesius (1882—1945). Tokoh-tokoh lainnya adalah Nikolai S.Trubetskoy, Roman Jakobson, dan Mprris Halle. Pengaruh mereka sangat besar pada bidang fonologi.
Dalam bidang fonologi, aliran Praha inilah yang pertama-tama membedakan dengan tegas akan fonetik dan fonologi. Fonetik mempelajari bunyi-bunyi bahasa itu sendiri dan fonologi mempelajari tentang fungsi bunyi itu sendiri.
Struktur bunyi dilakukan secara kontras atau oposisi. Ukuran apakah bunyi tersebut beroposisi atau tidak adalah makna. Bunyi bahasa yang membedakan makna disebut dengan distingtif.

2.2.2 Morfonologi
Selain dari struktur bunyi, aliran Praha (Samsuri. 1988: 21) juga mengemukakan mengenai kata dan kelompok kata. Aliran Praha menemukan:
(1)   Teori mengenai pemberian nama. Menurut teori pemberian nama, kata terbentuk sebagai akibat kegiatan pemberian nama yang menguraikan realitas ke dalam unsur-unsur yang dapat dimengerti ke dalam ilmu bahasa.
(2)   Teori mengenai proses sintagmatik, terutama mengenai tindak predikasi.
(3)   Teori mengenai sistem bentuk-bentuk kata atau bentuk-bentuk kelompok, atau morfologi yang tidak sejajar dengan teori pemberian nama dan proses sintagmatik, tetapi yang memotong keduanya.
Pembahasan mengenai morfologi dikemukakan oleh salah seorang tokoh aliran Praha, Nikolay S. Trubetzkoy (1890—1938) (Kencono. 1982: 138). Bidang ini meneliti perubahan-perubahan fonologis yang terjadi sebagai akibat hubungan antarmorfem (Chaer. 1994: 353).
2.2.3 Sintaksis
Dalam bidang sintaksis, Vilem Mathesius mencoba menelaah kalimat melalui pendekatan fungsional. Menurut pendekatan ini kalimat dapat dilihat dari struktur formal dan dapat pula dilihat dari struktur informasinya. Struktur formal menyangkut mengenai fungsi gramatikalnya, sedangkan struktur informasinya menyangkut tema (apa yang dibicarakan) dan rema (apa yang dikatakan mengenai tema). Tampaknya, pada pembahasan mengenai sintaksis ini terbagi menjadi dua pembahasan, yakni fungsi gramatika dan pragmatik (tema dan rema).
Dengan demikian, pada aliran Praha ini singkat membahas mengenai fonologi, morfonologi, dan sintaksis.
2.3  Aliran Glosematik
Aliran Glosematik lahir di Denmark; tokohnya, antara lain, Louis Hjemslev (1899—1965) yang meneruskan ajaran Ferdinand de Sausure. Menurut Hjemslev teori bahasa haruslah bersifat sembarang, artinya teori bahasa merupakan suatu sistem deduktif semata-mata. Teori itu harus dapat dipakai secara mandiri (Chaer. 1994:354)
Sejalan dengan pendapat de Saussure, Hjemselv menganggap bahasa itu mengandung dua segi, yaitu segi ekspresi (menurut Saussure: signifiant) dan segi isi (menurut Saussure: signifie). Masing-masing segi mengandung forma dan substansi sehingga diperoleh (1) forma ekspresi, (2) substansi ekspresi, (3) forma isi, dan (4) substansi isi (Chaer. 1994:354).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Hjemselv juga menganggap bahasa sebagai suatu sistem hubungan; dan mengakui adanya sistem sintagmatik dan paradigmatik seperti halnya dengan pandangan Saussure.
2.4  Aliran Firthian
Nama John R. Firth (1890—1960), guru besae Universitas London, yang sangat terkenal karena teorinya mengenai fonologi prosodi. Fonologi prosodi adalah suatu cara untuk menentukan arti pada tataran fonetis. Fonologi prosodi terdiri atas satuan fonematis dan satuan prosodi (Kencono. 1982:140). Satuan fonematis adalah unsur-unsur segmental, konsonan, dan vokal, sedangkan prosodi prosodi adalah ciri-ciri atau sifat-sifat struktur yang lebih panjang dari satuan segmen panjang.
Ada tiga macam prosodi pokok.
(1)   Prosodi yang menyangkut gabungan fonem: struktur kata, suku kata, gabungan konsonan, dan gabungan vokal.
(2)    Prosodi yang terbentuk oleh sendi atau jeda.
(3)   Prosodi yang realisasi fonetisnya melampaui satuan yang lebih besar daripada fonem-fonem suprasegmental.
2.5  Aliran Linguistik Sistemik
Nama aliran linguistik sistemik tidak dapat dilepaskan dari M.A.K. Halliday, yaitu salah seorang murid Firth yang mengembangkan teori Firth mengenai bahasa, khususnya yang berkenaan dengan segi kemasyarakatan bahasa. Sebagai penerus Firth dan berdasarkan karangan dengan judul Categories of The Theoryof Grammar, maka teori yang dikembangkan oleh Halliday. Kemudia muncul nama baru, yakni Systemic Linguistics.
Pokok-pokok pandangan Systemic Linguistics (SL) adalah:
(1)   SL memberikan perhatian penuh pada segi kemasyarakatan bahasa, terutama mengenai fungsi kemasyarakatan bahasa.
(2)   SL memandang bahasa sebagai “pelaksana”. SL mengakui pentingnya pembedaan langue dan parole (seperti yang dikemukakan oleh Saussure).
(3)   SL lebih mengutamakan pemberian cirri-ciri bahasa tertentu beserta variasinya.
(4)   SL mengenal adanya gradasi atau kontinum. Misalnya,mengenai bentuk-bentuk gramatikal dan yang tidak gramatikal.
(5)   SL menggambarkan tiga tataran utama bahasa (substansi, forma, dan situasi) (Chaer. 1994: 357).
2.6  Aliran Leonard Bloomfield
Nama Leonard Bloomfield (1877—1949) sangat terkenal karena bukunya yang berjudul Language. Istilah strukturalis sebenarnya dapat dikenakan kepada semua aliran linguistik sebab semua aliran linguistik pasti berusaha menjelaskan seluk-beluk bahasa berdasarkan strukturnya. Namun, nama strukturalisme lebih dikenal dan menyatu kepada nama aliran linguistik yang dikembangkan oleh Bloomfield di Amerika. Pertama, pada masa itu para linguis di Amerika menghadapi masalah yang sama, yakni banyak sekali bahasa Indian di Amerika menghadapi belum diperikan. Kedua, sikap Bloomfield yang menolak mentalistik sejalan dengan iklim filsafat yang berkembang pada masa itu di Amerika, yaitu filsafat behaviorisme. Oleh karena itu, dalam memerikan bahasa aliran srukturalisme ini selalu bedasarkan fakta-fakta objektif sehingga mengenai makna kurang mendapatkan perhatian.
Bloomfield (1994: 360) Aliran strukturalis yang dikembangkan Bloomfield dengan para pengikutnya sering juga disebut dengan aliran taksonomi. Disebut dengan aliran taksonomi karena aliran ini menganalisis dan mengklasifikasikan unsur-unsur bahasa berdasarkan hubungan hierarkinya.
2.7  Aliran Tagmemik
Aliran Tagmemik dipelopori oleh Kenneth L. Pike, seorang tokoh dari Summer Institute of Linguistics yang mewarisi pandangan-pandangan Bloomfied sehingga aliran ini satuan dari sintaksis adalah tagmem.
Chaer (1994: 361) Yang dimaksud dengan tagmem adalah korelasi antara fungsi gramatikal atau slot dengan sekelompok bentuk-bentuk kata yang dapat saling dipertukarkan untuk mengisi slot tersebut. Misalnya, dalam kalimat Pena itu berada di atas meja; bentuk pena itu mengisi fungsi subjek, dan tagmem subjeknya dinyatakan dengan pena itu.


            S          KG                  P          KKt                 O         KB                  K         FD
            pel                               ak                                tuj                                al
            Saya                            menulis                        surat                            dengan pensil
Keterangan:
S              : fungsi subjek                                      pel           : pelaku
P              : fungsi predikat                                   ak           : aktif
O             : fungsi objek                                       tuj           : tujuan
K             : fungsi keterangan                             al             : alat
KG          : kata ganti
KKt        : kata kerja transitif
KB          : kata benda
FD           : frasa depan

2.3 LINGUISTIK TRANSFORMASIONAL
Dapat dikatakan tata bahasa transformasi lahir dengan terbitnya buku Noam Chomsky yang berjudul Syntactic Stucture pada tahun 1957 yang kemudian dikembangkan karena adanya kritik dan saran dari berbagai pihak, di dalam buku Chomsky yang kedua yang berjudul Aspect of the Theory of Syntax pada tahun 1965. Nama yang dikembangkan oleh Chomsky ini adalah Transformasional Generative Grammar; tetapi dalam bahasa Indonesia lazim disebut tata bahasa transformasi atau tata bahasa generatif. Menurut Chomsky merupakan teori dari bahasa itu sendiri; tata bahasa harus memenuhi syarat, yaitu
(1)   Kalimat yang dihasilkan oleh tata bahasa itu harus dapat diterima oleh pemakai bahasa tersebut sebagai kalimat yang wajar.
(2)   Tata bahasa harus berbentuk sedemikian rupa  sehingga satuan atau istilah yang digunakan tidak berdasarkan pada gejala bahasa tertentu saja.
Sejalan dengan konsep langue dan parole dari Saussure, Chomsky membedakan adanya kemampuan (competence) dan perbuatan (performance) (Chaer. 1994: 364).

Menurut Chomsky dalam bukunya Leech (1974: 397) teori klasif adalah
(a)    Bahwa struktur permukaan sintaksis adalah satu-satunya tingkat sintaksis yang relevan dengan ketentuan interpretasi fonetik; dan (b) bahwa struktur dalam sintaksis adalah satu-satunya tingkat sintaksis yang relevan dengan interpretasi semantik. Yang kedua ini berakibat adanya prinsip bahwa kaidah transformasional memelihara makna; artinya, kaidah itu sama sekali tidak mengubah makna struktur yang dipakai untuk beroperasinya. Hal ini member simpulan bahwa semua kalimat yang memili struktur dalam yang sama akan mempunyai makna yang sama.


DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Bandung: Rineka Cipta.
Kencono, Djoko. 1982. Dasar-Dasar Linguistik. Jakarta: UI Press.
Leech, Geoffrey. 1974. Semantik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pateda, Mansoer. 2011. Linguistik Sebuah Pengantar. Bandung: Angkasa.

Samsuri. 1988. Berbagai Aliran Linguistik Abad XX. Jakarta: Debdikbud,

1 komentar: