TUGAS 2
ALIRAN LINGUISTIK
(Draf 1)
KELOMPOK KENARI
Rusli Ilham
Fadli (137835014)
Achmad Endra
Gunawan (137835066)
Emalia Nova Sustyorini (137835073) (Pengunggah)
ALIRAN
LINGUISTIK
Dalam
sejarah perkembangannya, linguistik dipenuhi dengan berbagai aliran, paham,
pendekatan, dan teknik penyelidikan yang dari luar tampaknya sangat ruwet,
saling berlawanan, dan membingungkan, terutama bagi para pemula. Namun,
sebenarnya semuanya itu akan menambah wawasan kita terhadap bidang dan kajian
linguistik. Berikut ini akan dibicarakan sejarah, perkembangan, paham, dan
beberapa aliran linguistik dari zaman purba sampai zaman mutakhir secara sangat
singat dan sangat bersifat umum.
1. ALIRAN
TRADISIONAL
Aliran
linguistik yang akan dikaji mulai dari aliran yang paling tradisional sampai
dengan modern. Mulai dari proses berspekulasi sampai dengan menghasilkan teori.
Untuk lebih jelas, dipaparkan aliran tradisional pada setiap zaman. Chaer
(1994:333) menyatakan ada lima zaman yang dijelaskan pada aliran tradisional ini,
yakni zaman Yunani, Romawi, Pertengahan, Renaisans, dan menuju modern. Berikut
penjelasannya.
1) Zaman
Yunani
Pada
zaman Yunani ini, terdapat dua pasang perbedaan yang menjadi benturan-benturan
pola pikir antarkaum, misalnya, para filsuf Yunani mempertanyakan apakah bahasa
itu bersifat fisis (alami) atau konvensi (nomos). Kaum naturalis
menganggap bahwa bahasa itu bersifat fisis (alami) ditunjukkan dengan
bentuk-bentuk anomatope (tiruan bunyi). Padangan tersebut dibantah oleh kaum
konvensional; mereka menganggap bahwa anomatope itu terjadi secara kebetulan.
Bahasa itu bersifat konvensional. Artinya, bahasa terbentuk karena adanya suatu
kebiasaan atau tradisi yang bisa berubah.
Pateda
(2011: 122) menyatakan bahwa cara kaum konvensional mendefinisikan
kelas kata, misalnya, kata sifat ialah
kata yang menyatakan sifat atau keadaan, kata bilangan ialah kata yang
menunjukkan jumlah kata atau urutan. Padahal, tidak semuanya begitu, apalagi
kalau kata itu mengalami perubahan bentuk.
Cuplikan
tersebut bermaksud bahwa kelas kata mengalami perubahan, artinya makna suatu
kata dapat berubah dari hasil tradisi yang mempunyai kemungkinan bisa berubah.
Hal yang sama diungkapkan oleh Alwasilah (2011: 174) menyatakan bahwa pada
aliran tradisional pembagian jenis kata didasarkan pada makna dan sedikit pada
fungsi.
Selain
dua hal tersebut, Chaer menyebutkan ada pertentangan lain, yakni analogi dan
anomali menyangkut masalah bahasa itu sesuatu yang teratur atau tidak teratur.
Kaum analogi, antara lain Plato dan Aristoteles berpendapat bahwa bahasa itu
bersifat teratur. Keteraturan bahasa itu tampak pada kasus pembentukan jamak
bahasa Inggris, yakni boy boys, girl girls, dan book books. Hal
tersebut juga berlaku pada bahasa Arab. Sebaliknya, kaum anomali berpendapat
bahwa bahasa itu bersifat tidak teratur tampak pada beberapa kata dalam bahasa
Inggris, yakni child menjadi children, bukannya childs, dst.
Dengan
demikian, kaum anomaly sejalan dengan kaum naturalis, sedangkan kaum analogi
sejalan dengan kaum konvensional.
Dalam
bukunya, Alwasilah (2011: 173) menyebut ada enam karakteristik bahasa pada
aliran tradisional, yakni
a. Menafsirkan
kalimat berdasarkan arti dan tujuan.
b. Pembagian
jenis kata didasarkan pada makna dan sedikit pada fungsi.
c. Fungsi
sintaksis terbagi menjadi subjek, predikat, objek, kata, frasa, klausa, kalimat
transitif, dan intransitif.
d. Pemerian
terutama didasarkan pada bahasa tulisan.
e. Tidak
mengindahkan ragam bahasa.
f. Bersifat
prespektif.
Beberapa
kaum yang lahir pada zaman Yunani ini, yakni kaum Sophis (abad ke-5 S.M.). Kaum
Shopis mementingkan retorika dalam studi bahasa. Kaum Plato (429—347 S.M.),
Plato memperdebatkan mengenai analogi dengan anomali dalam bukunya Dialog.
Selain itu, Plato juga mengemukakan mengenai bahasa alamiah dan konvensional. Plato
membagi bahasa menjadi onomata dan rhemata. Oleh Aristoteles (384—322 S.M.),
Aristoteles menambahkan satu kelas kata atas Plato, yakni syndesmoi. Jadi menurut Aristoteles kelas kata ada tiga, yakni
onoma, rhema, dan syndesmoi
(preposisi dan konjungsi). Aristoteles juga membedakan jenis kelamin kata
menjadi tiga, yakni maskulis, feminine, dan neuturm.
2) Zaman
Romawi
Pada
zaman Romawi, studi bahasa merupakan kelanjutan dari zaman Yunani. Tokoh yang
terkenal adalah Varro dan “De Lingua Latina”. Dalam buku tersebut, disebutkan
ada tiga pembahasan penting, yakni pembahasan mengenai etimologi, morfologi,
dan sintaksis.
Etimologi
merupakan cabang ilmu linguistik beserta artinya. Misalnya, kata “duellum” menjadi belum. Kelemahan
pembahasan etimologi pada masak Varro adalah dia menganggap kata-kata Latin dan
Yunani yang harus direkonstruksikan kembali kepada satu bahasa purba atau
bahasa proto yang lebih tua.
Morfologi
adalah cabang linguistik yang mempelajari kata dan pembentukannya. Menurut
Varro, dalam bukunya Chaer (1994: 338) menyatakan bahwa kata adalah bagian dari
ucapan yang tidak dapat dipisahkan lagi. Menurutnya, dalam bahasa Latin, ada
kata-kata yang terjadi secara analogi dan ada pula yang terjadi secara anomali.
3) Zaman
Pertengahan
Studi
bahasa pada zaman pertengahan di Eropa mendapat perhatian penuh terutama oleh
filsuf skolastik dan bahasa Latin
menjadi lingua franca karena dipakai
sebagai bahasa gereja, diplomasi, dan ilmu pengetahuan. Dari zaman pertengahan
ini, perlu dibicarakan mengenai Kaum Modistae,
Tata Bahasa Spekulative, dan Petrus Hippanus.
Kaum
Modistae masih membicarakan mengenai pertentangan antara fisis dengan nomos,
dan pertentangan analogi dan anomali yang banyak disinggung pada zaman Yunani.
Kaum ini lebih menerima konsep analogi karena bahasa bersifat regular dan
universal. Kaum ini memperhatikan semantik dan mencari sumber semantik sehingga
akan memungkinkan muncul pembahasan etimologi di sini.
Tata
Bahasa Spekulative merupakan hasil integrasi deskripsi gramatikal bahasa Latin
ke dalam filsafat skolastik. Menurut kaum ini, kata tidak langsung mewakili
alam yang ditunjuk, tetapi kata hanya mewakili hal adanya benda itu dalam
berbagai cara, modus, substansi, aksi, dan kualitas.
Jadi,
pada zaman pertengahan adanya konsep pemikiran yang mengalami kemajuan dan
muncul tali berantai mengenai linguistik dari zaman Yunani. Persamaan antara
zaman Yunani dengan zaman Pertengahan bahwa suatu kata tetap merujuk pada aspek
semantik atau makna.
4) Zaman
Renaisans
Chaer
(2011: 342) menyebutkan bahwa zaman Renaisans disebut juga sebagai zaman
pembukaan abad pemikiran modern. Pateda (2011) menyebutkan bahwa zaman
Renaisans disebut juga sebagai zaman peralihan. Pada zaman Renaisans ada dua
hal penting yang perlu dicatat, yakni (1) selain menguasai bahasa Latin, banyak
sarjana menguasai bahasa Yunani, Ibrani, dan Arab; (2) selain bahasa-bahasa
tersebut, bahasa Eropa juga mendapatkan perhatian dalam bentuk pembahasan,
penyusunan tata bahasa, dan malah membandingkan. Masa berakhirnya zaman
Renaisans dan masa lahirnya linguistic modern merupakan hal yang sangat penting
dalam studi bahasa.
5) Zaman
menuju modern
Hal
yang dianggap penting adalah munculnya hubungan kekerabatan antara bahasa
Sansekerta dengan bahasa Yunani, Latin, dan bahasa Jerman lainnya. Hal tersebut
dikemukakan oleh Sir William Jones bahwa itu telah membuka babak baru sejarah
linguistik, yakni dengan berkembangnya studi linguistik historis komparatif;
serta study mengenai hakikat bahasa secara linguistik.
Dapat
disimpulkan pembahasan mengenai linguistik tradisional sebagai berikut.
(a) Pada
tata bahasa tradisional ini tidak dikenal perbedaan antara bahasa ujaran dengan
bahasa tulisan. Oleh karena itu, deskripsi bahasa hanya bertumpu pada bahasa
tulisan.
(b) Bahasa
yang disusun tata bahasanya dideskripsikan dengan mengambil pedoman dari bahasa
lain, terutama dari bahasa Latin.
(c) Kaidah-kaidah
dibuat secara prespektif, yakni benar atau salah.
(d) Persoalan
kebahasaan seringkali dideskripsikan dengan menggunakan logika.
(e) Penemuan-penemuan
atau kaidah terdahulu cenderung dipertahankan.
2. ALIRAN
STRUKTURAL
Kalau
linguistik tradisional selalu menerapkan pola-pola tata bahasa Yunani dan Latin
dalam mendeskripsikan suatu bangsa, maka linguistik strukturalis tidak lagi
melakukan hal demikian. Linguistik strukturalis berusaha mendeskripsikan suatu
bahasa berdasarkan cirri atau sifat khas yang dimiliki bahasa itu. Pandangan
ini adalah sebagai akibat dari konsep-konsep atau pandangan-pandangan baru
terhadap bahasa dan studi bahasa yang dikemukakan oleh Bapak Linguistik Modern,
yaitu Ferdinand de Saussure. Maka itu, dalam pembicaraan linguistik
strukturalis ini, kita mulai dengan tokoh tersebut, meskipun secara singkat dan
sangat umum.
2.1 Aliran
Ferdinand de Saussure
Ferdinand
de Saussure (1857-1913) dianggap sebagai Bapak Linguistik Modern berdasarkan
pandangan-pandangan yang dimuat dalam bukunya Course de Linguistique Generale yang disusun dan diterbitkan oleh
Charles Bally dan Albert Sechehay tahun 1915.
Pandangan
yang dimuat dalam buku tersebut mengenai konsep; (1) telaah sinkronik dan
diakronik, (2) perbedaan langue dan parole, (3) perbedaan signifiant dan
signifie, dan (4) hubungan sintagmatik dan paradigmatik.
Ferdinand
de Saussure membedakan telaah bahasa secara sinkronik dan diakronik. Telaah
sinkronik menurut Chaer (1994: 347) adalah
mempelajari suatu bahasa pada suatu kurun waktu saja. Telaah diakronik adalah telaah bahasa
sepanjang masa atau sepanjang zaman bahasa itu digunakan oleh penuturnya.
Selain
sinkronik dan diakronik, langue dan parole juga merupakan pilahan dikotomis Ferdinand
de Sausure. Ferdinand de Sausure (dalam Caher. 1994: 347) menyebutkan
langue adalah keseluruhan sistem tanda
keseluruhan sistem tanda yang berfungsi sebagai alat komunikasi verbal antara
para anggota suatu masyarakat bahasa yang bersifat abstrak. Parole merupakan
realisasi langue oleh masing-masing anggota masyarakat yang bersifat konkret.
Signifiant
dan signifie. Ferdinand de Sausure
(dalam Chaer. 1994: 348) mengemukakan teori bahwa setiap tanda atau tanda
linguistik (signe atau signelinguistique) dibentuk oleh dua
buah komponen yang tidak terpisahkan, yaitu komponen signifiant dan komponen signifie.
Signifiant adalah citra bunyi yang
timbul dalam pikiran kita, sedangkan signifie
adalah makna.
Hubungan
sintagmatik dan paradigmatik. Hubungan sintagmatik dan hubungan asosiatif (yang sekarang lebih
dikenal dengan paradigmatik). Hubungan sintagmatik adalah hubungan antara
unsur-unsur yang terdapat dalam suatu tuturan. Unsur itu tersusun secara
berurutan dan bersifat linier. Hubungan paradigmatik adalah hubungan antara
unsur-unsur sejenis yang tidak terdapat dalam tuturan yang bersangkutan.
2.2 Aliran Praha
2.2.1
Fonologi
Aliran
Praha terbentuk pada tahun 1926 atas prakarsa salah seorang tokohnya, yaitu
Vilem Mathesius (1882—1945). Tokoh-tokoh lainnya adalah Nikolai S.Trubetskoy,
Roman Jakobson, dan Mprris Halle. Pengaruh mereka sangat besar pada bidang
fonologi.
Dalam
bidang fonologi, aliran Praha inilah yang pertama-tama membedakan dengan tegas
akan fonetik dan fonologi. Fonetik mempelajari bunyi-bunyi bahasa itu sendiri
dan fonologi mempelajari tentang fungsi bunyi itu sendiri.
Struktur
bunyi dilakukan secara kontras atau oposisi. Ukuran apakah bunyi tersebut
beroposisi atau tidak adalah makna. Bunyi bahasa yang membedakan makna disebut
dengan distingtif (Chaer, 2007:351).
2.2.2
Morfonologi
Selain dari struktur bunyi, aliran Praha (Samsuri.
1988: 21) juga mengemukakan mengenai kata dan kelompok kata. Aliran Praha
menemukan:
(1) Teori
mengenai pemberian nama. Menurut teori pemberian nama, kata terbentuk sebagai
akibat kegiatan pemberian nama yang menguraikan realitas ke dalam unsur-unsur
yang dapat dimengerti ke dalam ilmu bahasa.
(2) Teori
mengenai proses sintagmatik, terutama mengenai tindak predikasi.
(3) Teori
mengenai sistem bentuk-bentuk kata atau bentuk-bentuk kelompok, atau morfologi
yang tidak sejajar dengan teori pemberian nama dan proses sintagmatik, tetapi
yang memotong keduanya.
Pembahasan mengenai morfologi dikemukakan oleh salah
seorang tokoh aliran Praha, Nikolay S. Trubetzkoy (1890—1938) (Kencono. 1982:
138). Bidang ini meneliti perubahan-perubahan fonologis yang terjadi sebagai
akibat hubungan antarmorfem (Chaer. 1994: 353).
2.2.3
Sintaksis
Dalam bidang sintaksis, Vilem Mathesius mencoba
menelaah kalimat melalui pendekatan fungsional. Menurut pendekatan ini kalimat
dapat dilihat dari struktur formal dan dapat pula dilihat dari struktur
informasinya. Struktur formal menyangkut mengenai fungsi gramatikalnya,
sedangkan struktur informasinya menyangkut tema (apa yang dibicarakan) dan rema
(apa yang dikatakan mengenai tema). Tampaknya, pada pembahasan mengenai
sintaksis ini terbagi menjadi dua pembahasan, yakni fungsi gramatika dan
pragmatik (tema dan rema).
Dengan demikian, pada aliran Praha ini singkat
membahas mengenai fonologi, morfonologi, dan sintaksis.
2.3 Aliran Glosematik
Aliran Glosematik lahir di Denmark; tokohnya, antara
lain, Louis Hjemslev (1899—1965) yang meneruskan ajaran Ferdinand de Sausure.
Menurut Hjemslev teori bahasa haruslah bersifat sembarang, artinya teori bahasa
merupakan suatu sistem deduktif semata-mata. Teori itu harus dapat dipakai
secara mandiri (Chaer. 1994:354)
Sejalan dengan pendapat de Saussure, Hjemselv
menganggap bahasa itu mengandung dua segi, yaitu segi ekspresi (menurut
Saussure: signifiant) dan segi isi (menurut Saussure: signifie). Masing-masing
segi mengandung forma dan substansi sehingga diperoleh (1) forma ekspresi, (2)
substansi ekspresi, (3) forma isi, dan (4) substansi isi (Chaer. 1994:354).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Hjemselv juga
menganggap bahasa sebagai suatu sistem hubungan; dan mengakui adanya sistem
sintagmatik dan paradigmatik seperti halnya dengan pandangan Saussure.
2.4 Aliran
Firthian
Nama John R. Firth (1890—1960), guru besae
Universitas London, yang sangat terkenal karena teorinya mengenai fonologi
prosodi. Fonologi prosodi adalah suatu cara untuk menentukan arti pada tataran
fonetis. Fonologi prosodi terdiri atas satuan fonematis dan satuan prosodi
(Kencono. 1982:140). Satuan fonematis adalah unsur-unsur segmental, konsonan,
dan vokal, sedangkan prosodi prosodi adalah ciri-ciri atau sifat-sifat struktur
yang lebih panjang dari satuan segmen panjang.
Ada tiga macam prosodi pokok.
(1) Prosodi
yang menyangkut gabungan fonem: struktur kata, suku kata, gabungan konsonan,
dan gabungan vokal.
(2) Prosodi yang terbentuk oleh sendi atau jeda.
(3) Prosodi
yang realisasi fonetisnya melampaui satuan yang lebih besar daripada
fonem-fonem suprasegmental.
2.5 Aliran
Linguistik Sistemik
Nama
aliran linguistik sistemik tidak dapat dilepaskan dari M.A.K. Halliday, yaitu
salah seorang murid Firth yang mengembangkan teori Firth mengenai bahasa,
khususnya yang berkenaan dengan segi kemasyarakatan bahasa. Sebagai penerus
Firth dan berdasarkan karanganya Categories of the Theory of Grammar,
maka teori yang dikembangkan oleh Halliday dikenal dengan nama Neo-Firthian
Linguitics atau Scale and Category Linguistics (Chaer, 2007:356).
Dalam
bahasa Indonesia mungkin namanya yang tepat adalah Linguistik Sistemik.
Pokok-pokok pandangan systemic linguistics adalah: Pertama, SL
memberikan perhatian penuh pada segi kemasyarakatan bahasa, terutama mengenai
fungsi kemasyarakatan bahasa dan bagaimana fungsi kemasyarakatan itu terlaksana
dalam bahasa. Kedua, SL memandang bahasa sebagai “pelaksana”. SL
mengakui pentingnya pembedaan langue dan parole. Ketiga, SL lebih
mengutamakan pemerian cirri-ciri bahasa tertentu beserta variasi-variasinya,
tidak atau kurang tertarik pada semestaan bahasa. Keempat, SL mengenal
adanya gradasi atau kontinum. Kelima, SL menggambarkan tiga tataran
utama bahasa yaitu: substansi, forma, dan situasi (Chaer, 2007:358).
Selain
ketiga tataran utama itu, ada dua tataran lain yang menghubungkan
tataran-tataran utama. Yang menghubungkan substansi fonik dengan forma adalah
fonologi, dan yang menghubungkan substasi grafik dengan forma adalah grafologi.
Sedangkan yang menghubungkan forma dengan situasi disebut konteks (Chaer,
2007:358).
2.6 Aliran
Leonard Bloomfield dan Strukturalis Amerika
Istilah
strukturalis sebenarnya dapat dikenakan kepada semua aliran linguistik, sebab
semua aliran linguistik pasti berusaha menjelaskan seluk beluk bahasa
berdasarkan strukturnya. Ciri aliran strukturalis Amerika ini adalah cara kerja
mereka yang sangat menekankan pentingnya data yang objektif untuk memerikan
suatu bahasa (Chaer, 2007:359-360).
2.7 Aliran
Tagmemik
Aliran
Tagmemik dipelopori oleh Kenneth L.Pike, seorang tokoh dari Summer Institute
of Linguistics, yang mewarisi pandangan pandangan Bloomfield, sehingga
aliran ini juga bersifat strukturalis, tetapi juga antropologis. Menurut aliran
ini satuan dasar dari sintaksis adalah tagmem.
Tagmem
adalah korelasi antara fungsi gramatikal atau slot dengan sekelompok
bentuk-bentuk kata yang dapat saling dipertukarkan untuk mengisi slot
tersebut (Chaer, 2007:361-362).
3. ALIRAN
TRANSFORMASIONAL DAN ALIRAN SESUDAHNYA
Linguistik
transformasional mempunyai pendekatan dan cara yang berbeda dengan linguistik
struktural. Namun, kemudian model transformasi ini pun dirasakan orang banyak
kelemahannya, sehingga orang membuat model lain pula, yang dianggap lebih baik,
misalnya model semantik generatif, model tata bahasa kasus, model tata bahasa
relasional, dan model tata bahasa stratifikasi (Chaer, 2007:363).
3.1 Aliran
Tata Bahasa Transformasi
Dapat
dikatakan tata bahasa transformasi lahir dengan terbitnya buku Noam Chomsky
yang berjudul Syntactic Structure pada tahun1957. Menurut Chomsky (dalam Chaer,
2007:364) salah satu tujuan dari penelitian bahasa adalah untuk menyusun tata
bahasa dari bahasa tersebut. Bahasa dapat dianggap sebagai kumpulan kalimat
yang terdiri dari deretan bunyi yang mempunyai makna. Setiap tata bahasa dari
suatu bahasa menurut Chomsky (dalam Chaer, 2007:364) adalah merupakan teori
dari bahasa itu sendiri; dan tata bahasa itu harus memenuhi dua syarat, yaitu:
Pertama,
kalimat yang dihasilkan oleh tata bahasa itu harus dapat diterima oleh pemakai
bahasa tersebut, sebagai kalimat yang wajar dan tidak dibuat-buat. Kedua,
tata bahasa tersebut harus berbentuk sedemikian rupa, sehingga satuan atau
istilah yang digunakan tidak berdasarkan pada gejala bahasa tertentu saja, dan
semuanya in harus sejajar dengan teori linguistik tertentu.
Tidak
sama dengan tata bahasa strukturalis yang berusaha mendeskripsikan ciri-ciri
bahasa tertentu, maka tata bahasa transformasi berusaha mendeskripsikan
cirri-ciri kesemestaan bahasa. Lalu, karena pada mulanya teori tata bahasa ini
dipakai untuk mendeskripsikan kaidah-kaidah bahasa Inggris, maka kemudian
ketika para pengikut teori ini mencoba untuk menggunakannya terhadap
bahasa-bahasa lain, timbullah berbagai masalah. Oleh karena itu, usaha-usaha
perbaikan telah dilakukan oleh para bekas pengikut aliran ini. Umpamanya yang
dilakukan oleh kaum semantic generative, aliran tata bahasa kasus, dan aliran
tata bahasa relasional (Chaer, 2007:367-368).
3.2 Aliran
Semantik Generatif
Menurut
teori generatif semantik, struktur semantik, dan struktur sintaksis bersifat
homogen, dan untuk menghubungkan kedua struktur itu cukup hanya dengan kaidah
transformasi saja. Tidak perlu dengan bantuan kaidah lain, yakni kaidah
sintaksis dasar, kaidah proyeksi, dan kaidah fonologi yang seperti diajarkan
Chomsky. Menurut semantik generatif, sudah seharusnya semantic dan sintaksis
diselidiki bersama sekaligus karena keduanya adalah satu. Struktur semantik itu
serupa dengan struktur logika, berupa ikatan tidak berkala antara predikat
dengan seperangkat argument dalam suatu proposisi (Chaer, 2007:369).
Menurut
teori semantik generatif, argument adalah segala sesuatu yang dibicarakan;
sedangkan predikat itu semua yang menunjukan hubungan, perbuatan, sifat,
keanggotaan, dan sebagainya. Jadi, dalam menganalisis sebuah kalimat, teori ini
berusa mengabstrasikan predikatnya dan menentukan argumen-argumennya. Dalam
mengabstrasikan predikat, teori ini berusaha untuk menguraikannya lebih jauh
sampai diperoleh predikat yang tidak dapat diuraikan lagi, yang disebut
predikat inti. Begitulah teori yang diajukan kaum semantik generatif dalam
usaha menganalisis struktur semantik dan struktur sintaksis untuk memperbaiki
teori tata bahasa generatif transformasi (Chaer, 2007:370).
3.3 Aliran
Tata Bahasa Kasus
Tata
bahasa kasus pertama kali diperkenalkan oleh Charles J. Fillmore dalam
karangannya berjudul “The Case for Case” tahun 1968. Dalam karangannya yang
terbit tahun 1968 itu Fillmore membagi kalimat atas (1) modalitas, yang bisa berupa
unsur negasi, kala, aspek, dan adverbial; dan (2) proposisi, yang terdiri dari
sebuah verba disertai dengan sejumlah kasus. Kasus dalam teori ini adalah
hubungan antara verba dengan nomina. Verba di sini sama dengan predikat,
sedangkan nomina sama dengan argument dalam teori semantic generatif. Dari
uraian di atas dapat dilihat adanya persamaan antara teori semantik generatif
dengan teori kasus, yaitu sama-sama menumpukan teorinya pada predikat atau
verba (Chaer, 2007:371-372).
3.4 Aliran
Tata Bahasa Relasional
Tata
bahasa relasional muncul pada tahun 1970-an sebagai tantangan langsung terhadap
beberapa asumsi yang paling mendasar dari teori sintaksis yang dicanangkan oleh
aliran tata bahasa transformasi. Sama halnya dengan tata bahasa transformasi,
tata bahasa relasional juga berusaha mencari kaidah kesemestaan bahasa. Tata
bahasa relasional bukanlah teori yang terakhir dalam perkembangan linguistik
(Chaer, 2007:373,374,375).
DAFTAR
PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Bandung: Rineka Cipta.
Pateda, Mansoer. 2011. Linguistik Sebuah Pengantar. Bandung:
Angkasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar