Sabtu, 14 Desember 2013

Aliran Linguistik


TUGAS 2
ALIRAN LINGUISTIK
(Draf 1)

KELOMPOK KENARI
Rusli Ilham Fadli                (137835014)
Achmad Endra Gunawan   (137835066)
Emalia Nova Sustyorini      (137835073) (Pengunggah)

ALIRAN LINGUISTIK
Dalam sejarah perkembangannya, linguistik dipenuhi dengan berbagai aliran, paham, pendekatan, dan teknik penyelidikan yang dari luar tampaknya sangat ruwet, saling berlawanan, dan membingungkan, terutama bagi para pemula. Namun, sebenarnya semuanya itu akan menambah wawasan kita terhadap bidang dan kajian linguistik. Berikut ini akan dibicarakan sejarah, perkembangan, paham, dan beberapa aliran linguistik dari zaman purba sampai zaman mutakhir secara sangat singat dan sangat bersifat umum.

1.    ALIRAN TRADISIONAL
Aliran linguistik yang akan dikaji mulai dari aliran yang paling tradisional sampai dengan modern. Mulai dari proses berspekulasi sampai dengan menghasilkan teori. Untuk lebih jelas, dipaparkan aliran tradisional pada setiap zaman. Chaer (1994:333) menyatakan ada lima zaman yang dijelaskan pada aliran tradisional ini, yakni zaman Yunani, Romawi, Pertengahan, Renaisans, dan menuju modern. Berikut penjelasannya.

1)   Zaman Yunani
Pada zaman Yunani ini, terdapat dua pasang perbedaan yang menjadi benturan-benturan pola pikir antarkaum, misalnya, para filsuf Yunani mempertanyakan apakah bahasa itu bersifat fisis (alami) atau konvensi (nomos). Kaum naturalis menganggap bahwa bahasa itu bersifat fisis (alami) ditunjukkan dengan bentuk-bentuk anomatope (tiruan bunyi). Padangan tersebut dibantah oleh kaum konvensional; mereka menganggap bahwa anomatope itu terjadi secara kebetulan. Bahasa itu bersifat konvensional. Artinya, bahasa terbentuk karena adanya suatu kebiasaan atau tradisi yang bisa berubah.
Pateda (2011: 122) menyatakan bahwa cara kaum konvensional mendefinisikan
kelas kata, misalnya, kata sifat ialah kata yang menyatakan sifat atau keadaan, kata bilangan ialah kata yang menunjukkan jumlah kata atau urutan. Padahal, tidak semuanya begitu, apalagi kalau kata itu mengalami  perubahan bentuk.

Cuplikan tersebut bermaksud bahwa kelas kata mengalami perubahan, artinya makna suatu kata dapat berubah dari hasil tradisi yang mempunyai kemungkinan bisa berubah. Hal yang sama diungkapkan oleh Alwasilah (2011: 174) menyatakan bahwa pada aliran tradisional pembagian jenis kata didasarkan pada makna dan sedikit pada fungsi.
Selain dua hal tersebut, Chaer menyebutkan ada pertentangan lain, yakni analogi dan anomali menyangkut masalah bahasa itu sesuatu yang teratur atau tidak teratur. Kaum analogi, antara lain Plato dan Aristoteles berpendapat bahwa bahasa itu bersifat teratur. Keteraturan bahasa itu tampak pada kasus pembentukan jamak bahasa Inggris, yakni boy boys, girl        girls, dan book         books. Hal tersebut juga berlaku pada bahasa Arab. Sebaliknya, kaum anomali berpendapat bahwa bahasa itu bersifat tidak teratur tampak pada beberapa kata dalam bahasa Inggris, yakni child menjadi children, bukannya childs, dst.
Dengan demikian, kaum anomaly sejalan dengan kaum naturalis, sedangkan kaum analogi sejalan dengan kaum konvensional.
Dalam bukunya, Alwasilah (2011: 173) menyebut ada enam karakteristik bahasa pada aliran tradisional, yakni
a.       Menafsirkan kalimat berdasarkan arti dan tujuan.
b.      Pembagian jenis kata didasarkan pada makna dan sedikit pada fungsi.
c.       Fungsi sintaksis terbagi menjadi subjek, predikat, objek, kata, frasa, klausa, kalimat transitif, dan intransitif.
d.      Pemerian terutama didasarkan pada bahasa tulisan.
e.       Tidak mengindahkan ragam bahasa.
f.       Bersifat prespektif.
Beberapa kaum yang lahir pada zaman Yunani ini, yakni kaum Sophis (abad ke-5 S.M.). Kaum Shopis mementingkan retorika dalam studi bahasa. Kaum Plato (429—347 S.M.), Plato memperdebatkan mengenai analogi dengan anomali dalam bukunya Dialog. Selain itu, Plato juga mengemukakan mengenai bahasa alamiah dan konvensional. Plato membagi bahasa menjadi onomata dan rhemata. Oleh Aristoteles (384—322 S.M.), Aristoteles menambahkan satu kelas kata atas Plato, yakni syndesmoi. Jadi menurut Aristoteles kelas kata ada tiga, yakni onoma, rhema, dan syndesmoi (preposisi dan konjungsi). Aristoteles juga membedakan jenis kelamin kata menjadi tiga, yakni maskulis, feminine, dan neuturm.

2)   Zaman Romawi
Pada zaman Romawi, studi bahasa merupakan kelanjutan dari zaman Yunani. Tokoh yang terkenal adalah Varro dan “De Lingua Latina”. Dalam buku tersebut, disebutkan ada tiga pembahasan penting, yakni pembahasan mengenai etimologi, morfologi, dan sintaksis.
Etimologi merupakan cabang ilmu linguistik beserta artinya. Misalnya, kata “duellum” menjadi belum. Kelemahan pembahasan etimologi pada masak Varro adalah dia menganggap kata-kata Latin dan Yunani yang harus direkonstruksikan kembali kepada satu bahasa purba atau bahasa proto yang lebih tua.
Morfologi adalah cabang linguistik yang mempelajari kata dan pembentukannya. Menurut Varro, dalam bukunya Chaer (1994: 338) menyatakan bahwa kata adalah bagian dari ucapan yang tidak dapat dipisahkan lagi. Menurutnya, dalam bahasa Latin, ada kata-kata yang terjadi secara analogi dan ada pula yang terjadi secara anomali.

3)   Zaman Pertengahan
Studi bahasa pada zaman pertengahan di Eropa mendapat perhatian penuh terutama oleh filsuf skolastik  dan bahasa Latin menjadi lingua franca karena dipakai sebagai bahasa gereja, diplomasi, dan ilmu pengetahuan. Dari zaman pertengahan ini, perlu dibicarakan mengenai Kaum Modistae, Tata Bahasa Spekulative, dan Petrus Hippanus.
Kaum Modistae masih membicarakan mengenai pertentangan antara fisis dengan nomos, dan pertentangan analogi dan anomali yang banyak disinggung pada zaman Yunani. Kaum ini lebih menerima konsep analogi karena bahasa bersifat regular dan universal. Kaum ini memperhatikan semantik dan mencari sumber semantik sehingga akan memungkinkan muncul pembahasan etimologi di sini.
Tata Bahasa Spekulative merupakan hasil integrasi deskripsi gramatikal bahasa Latin ke dalam filsafat skolastik. Menurut kaum ini, kata tidak langsung mewakili alam yang ditunjuk, tetapi kata hanya mewakili hal adanya benda itu dalam berbagai cara, modus, substansi, aksi, dan kualitas.
Jadi, pada zaman pertengahan adanya konsep pemikiran yang mengalami kemajuan dan muncul tali berantai mengenai linguistik dari zaman Yunani. Persamaan antara zaman Yunani dengan zaman Pertengahan bahwa suatu kata tetap merujuk pada aspek semantik atau makna.

4)   Zaman Renaisans
Chaer (2011: 342) menyebutkan bahwa zaman Renaisans disebut juga sebagai zaman pembukaan abad pemikiran modern. Pateda (2011) menyebutkan bahwa zaman Renaisans disebut juga sebagai zaman peralihan. Pada zaman Renaisans ada dua hal penting yang perlu dicatat, yakni (1) selain menguasai bahasa Latin, banyak sarjana menguasai bahasa Yunani, Ibrani, dan Arab; (2) selain bahasa-bahasa tersebut, bahasa Eropa juga mendapatkan perhatian dalam bentuk pembahasan, penyusunan tata bahasa, dan malah membandingkan. Masa berakhirnya zaman Renaisans dan masa lahirnya linguistic modern merupakan hal yang sangat penting dalam studi bahasa.

5)   Zaman menuju modern
Hal yang dianggap penting adalah munculnya hubungan kekerabatan antara bahasa Sansekerta dengan bahasa Yunani, Latin, dan bahasa Jerman lainnya. Hal tersebut dikemukakan oleh Sir William Jones bahwa itu telah membuka babak baru sejarah linguistik, yakni dengan berkembangnya studi linguistik historis komparatif; serta study mengenai hakikat bahasa secara linguistik.
Dapat disimpulkan pembahasan mengenai linguistik tradisional sebagai berikut.
(a)    Pada tata bahasa tradisional ini tidak dikenal perbedaan antara bahasa ujaran dengan bahasa tulisan. Oleh karena itu, deskripsi bahasa hanya bertumpu pada bahasa tulisan.
(b)   Bahasa yang disusun tata bahasanya dideskripsikan dengan mengambil pedoman dari bahasa lain, terutama dari bahasa Latin.
(c)    Kaidah-kaidah dibuat secara prespektif, yakni benar atau salah.
(d)   Persoalan kebahasaan seringkali dideskripsikan dengan menggunakan logika.
(e)    Penemuan-penemuan atau kaidah terdahulu cenderung dipertahankan.

2.    ALIRAN STRUKTURAL
Kalau linguistik tradisional selalu menerapkan pola-pola tata bahasa Yunani dan Latin dalam mendeskripsikan suatu bangsa, maka linguistik strukturalis tidak lagi melakukan hal demikian. Linguistik strukturalis berusaha mendeskripsikan suatu bahasa berdasarkan cirri atau sifat khas yang dimiliki bahasa itu. Pandangan ini adalah sebagai akibat dari konsep-konsep atau pandangan-pandangan baru terhadap bahasa dan studi bahasa yang dikemukakan oleh Bapak Linguistik Modern, yaitu Ferdinand de Saussure. Maka itu, dalam pembicaraan linguistik strukturalis ini, kita mulai dengan tokoh tersebut, meskipun secara singkat dan sangat umum.

2.1     Aliran Ferdinand de Saussure
Ferdinand de Saussure (1857-1913) dianggap sebagai Bapak Linguistik Modern berdasarkan pandangan-pandangan yang dimuat dalam bukunya Course de Linguistique Generale yang disusun dan diterbitkan oleh Charles Bally dan Albert Sechehay tahun 1915.
Pandangan yang dimuat dalam buku tersebut mengenai konsep; (1) telaah sinkronik dan diakronik, (2) perbedaan langue dan parole, (3) perbedaan signifiant dan signifie, dan (4) hubungan sintagmatik dan paradigmatik.
Ferdinand de Saussure membedakan telaah bahasa secara sinkronik dan diakronik. Telaah sinkronik menurut Chaer (1994: 347) adalah mempelajari suatu bahasa pada suatu kurun waktu saja.  Telaah diakronik adalah telaah bahasa sepanjang masa atau sepanjang zaman bahasa itu digunakan oleh penuturnya.
Selain sinkronik dan diakronik, langue dan parole juga merupakan pilahan dikotomis Ferdinand de Sausure. Ferdinand de Sausure (dalam Caher. 1994: 347) menyebutkan
langue adalah keseluruhan sistem tanda keseluruhan sistem tanda yang berfungsi sebagai alat komunikasi verbal antara para anggota suatu masyarakat bahasa yang bersifat abstrak. Parole merupakan realisasi langue oleh masing-masing anggota masyarakat yang bersifat konkret.

Signifiant dan signifie. Ferdinand de Sausure (dalam Chaer. 1994: 348) mengemukakan teori bahwa setiap tanda atau tanda linguistik (signe atau signelinguistique) dibentuk oleh dua buah komponen yang tidak terpisahkan, yaitu komponen signifiant dan komponen signifie. Signifiant adalah citra bunyi yang timbul dalam pikiran kita, sedangkan signifie adalah makna.
Hubungan sintagmatik dan paradigmatik. Hubungan sintagmatik dan  hubungan asosiatif (yang sekarang lebih dikenal dengan paradigmatik). Hubungan sintagmatik adalah hubungan antara unsur-unsur yang terdapat dalam suatu tuturan. Unsur itu tersusun secara berurutan dan bersifat linier. Hubungan paradigmatik adalah hubungan antara unsur-unsur sejenis yang tidak terdapat dalam tuturan yang bersangkutan.

2.2    Aliran Praha
2.2.1 Fonologi
Aliran Praha terbentuk pada tahun 1926 atas prakarsa salah seorang tokohnya, yaitu Vilem Mathesius (1882—1945). Tokoh-tokoh lainnya adalah Nikolai S.Trubetskoy, Roman Jakobson, dan Mprris Halle. Pengaruh mereka sangat besar pada bidang fonologi.
Dalam bidang fonologi, aliran Praha inilah yang pertama-tama membedakan dengan tegas akan fonetik dan fonologi. Fonetik mempelajari bunyi-bunyi bahasa itu sendiri dan fonologi mempelajari tentang fungsi bunyi itu sendiri.
Struktur bunyi dilakukan secara kontras atau oposisi. Ukuran apakah bunyi tersebut beroposisi atau tidak adalah makna. Bunyi bahasa yang membedakan makna disebut dengan distingtif (Chaer, 2007:351).

2.2.2 Morfonologi
Selain dari struktur bunyi, aliran Praha (Samsuri. 1988: 21) juga mengemukakan mengenai kata dan kelompok kata. Aliran Praha menemukan:
(1)   Teori mengenai pemberian nama. Menurut teori pemberian nama, kata terbentuk sebagai akibat kegiatan pemberian nama yang menguraikan realitas ke dalam unsur-unsur yang dapat dimengerti ke dalam ilmu bahasa.
(2)   Teori mengenai proses sintagmatik, terutama mengenai tindak predikasi.
(3)   Teori mengenai sistem bentuk-bentuk kata atau bentuk-bentuk kelompok, atau morfologi yang tidak sejajar dengan teori pemberian nama dan proses sintagmatik, tetapi yang memotong keduanya.
Pembahasan mengenai morfologi dikemukakan oleh salah seorang tokoh aliran Praha, Nikolay S. Trubetzkoy (1890—1938) (Kencono. 1982: 138). Bidang ini meneliti perubahan-perubahan fonologis yang terjadi sebagai akibat hubungan antarmorfem (Chaer. 1994: 353).

2.2.3 Sintaksis
Dalam bidang sintaksis, Vilem Mathesius mencoba menelaah kalimat melalui pendekatan fungsional. Menurut pendekatan ini kalimat dapat dilihat dari struktur formal dan dapat pula dilihat dari struktur informasinya. Struktur formal menyangkut mengenai fungsi gramatikalnya, sedangkan struktur informasinya menyangkut tema (apa yang dibicarakan) dan rema (apa yang dikatakan mengenai tema). Tampaknya, pada pembahasan mengenai sintaksis ini terbagi menjadi dua pembahasan, yakni fungsi gramatika dan pragmatik (tema dan rema).
Dengan demikian, pada aliran Praha ini singkat membahas mengenai fonologi, morfonologi, dan sintaksis.

2.3     Aliran Glosematik
Aliran Glosematik lahir di Denmark; tokohnya, antara lain, Louis Hjemslev (1899—1965) yang meneruskan ajaran Ferdinand de Sausure. Menurut Hjemslev teori bahasa haruslah bersifat sembarang, artinya teori bahasa merupakan suatu sistem deduktif semata-mata. Teori itu harus dapat dipakai secara mandiri (Chaer. 1994:354)
Sejalan dengan pendapat de Saussure, Hjemselv menganggap bahasa itu mengandung dua segi, yaitu segi ekspresi (menurut Saussure: signifiant) dan segi isi (menurut Saussure: signifie). Masing-masing segi mengandung forma dan substansi sehingga diperoleh (1) forma ekspresi, (2) substansi ekspresi, (3) forma isi, dan (4) substansi isi (Chaer. 1994:354).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Hjemselv juga menganggap bahasa sebagai suatu sistem hubungan; dan mengakui adanya sistem sintagmatik dan paradigmatik seperti halnya dengan pandangan Saussure.

2.4    Aliran Firthian
Nama John R. Firth (1890—1960), guru besae Universitas London, yang sangat terkenal karena teorinya mengenai fonologi prosodi. Fonologi prosodi adalah suatu cara untuk menentukan arti pada tataran fonetis. Fonologi prosodi terdiri atas satuan fonematis dan satuan prosodi (Kencono. 1982:140). Satuan fonematis adalah unsur-unsur segmental, konsonan, dan vokal, sedangkan prosodi prosodi adalah ciri-ciri atau sifat-sifat struktur yang lebih panjang dari satuan segmen panjang.
Ada tiga macam prosodi pokok.
(1)   Prosodi yang menyangkut gabungan fonem: struktur kata, suku kata, gabungan konsonan, dan gabungan vokal.
(2)    Prosodi yang terbentuk oleh sendi atau jeda.
(3)   Prosodi yang realisasi fonetisnya melampaui satuan yang lebih besar daripada fonem-fonem suprasegmental.

2.5    Aliran Linguistik Sistemik
Nama aliran linguistik sistemik tidak dapat dilepaskan dari M.A.K. Halliday, yaitu salah seorang murid Firth yang mengembangkan teori Firth mengenai bahasa, khususnya yang berkenaan dengan segi kemasyarakatan bahasa. Sebagai penerus Firth dan berdasarkan karanganya Categories of the Theory of Grammar, maka teori yang dikembangkan oleh Halliday dikenal dengan nama Neo-Firthian Linguitics atau Scale and Category Linguistics (Chaer, 2007:356).
Dalam bahasa Indonesia mungkin namanya yang tepat adalah Linguistik Sistemik. Pokok-pokok pandangan systemic linguistics adalah: Pertama, SL memberikan perhatian penuh pada segi kemasyarakatan bahasa, terutama mengenai fungsi kemasyarakatan bahasa dan bagaimana fungsi kemasyarakatan itu terlaksana dalam bahasa. Kedua, SL memandang bahasa sebagai “pelaksana”. SL mengakui pentingnya pembedaan langue dan parole. Ketiga, SL lebih mengutamakan pemerian cirri-ciri bahasa tertentu beserta variasi-variasinya, tidak atau kurang tertarik pada semestaan bahasa. Keempat, SL mengenal adanya gradasi atau kontinum. Kelima, SL menggambarkan tiga tataran utama bahasa yaitu: substansi, forma, dan situasi (Chaer, 2007:358).
Selain ketiga tataran utama itu, ada dua tataran lain yang menghubungkan tataran-tataran utama. Yang menghubungkan substansi fonik dengan forma adalah fonologi, dan yang menghubungkan substasi grafik dengan forma adalah grafologi. Sedangkan yang menghubungkan forma dengan situasi disebut konteks (Chaer, 2007:358).

2.6    Aliran Leonard Bloomfield dan Strukturalis Amerika
Istilah strukturalis sebenarnya dapat dikenakan kepada semua aliran linguistik, sebab semua aliran linguistik pasti berusaha menjelaskan seluk beluk bahasa berdasarkan strukturnya. Ciri aliran strukturalis Amerika ini adalah cara kerja mereka yang sangat menekankan pentingnya data yang objektif untuk memerikan suatu bahasa (Chaer, 2007:359-360).

2.7    Aliran Tagmemik
Aliran Tagmemik dipelopori oleh Kenneth L.Pike, seorang tokoh dari Summer Institute of Linguistics, yang mewarisi pandangan pandangan Bloomfield, sehingga aliran ini juga bersifat strukturalis, tetapi juga antropologis. Menurut aliran ini satuan dasar dari sintaksis adalah tagmem.
Tagmem adalah korelasi antara fungsi gramatikal atau slot dengan sekelompok bentuk-bentuk kata yang dapat saling dipertukarkan untuk mengisi slot tersebut (Chaer, 2007:361-362).

3.    ALIRAN TRANSFORMASIONAL DAN ALIRAN SESUDAHNYA
Linguistik transformasional mempunyai pendekatan dan cara yang berbeda dengan linguistik struktural. Namun, kemudian model transformasi ini pun dirasakan orang banyak kelemahannya, sehingga orang membuat model lain pula, yang dianggap lebih baik, misalnya model semantik generatif, model tata bahasa kasus, model tata bahasa relasional, dan model tata bahasa stratifikasi (Chaer, 2007:363).
3.1    Aliran Tata Bahasa Transformasi
Dapat dikatakan tata bahasa transformasi lahir dengan terbitnya buku Noam Chomsky yang berjudul Syntactic Structure pada tahun1957. Menurut Chomsky (dalam Chaer, 2007:364) salah satu tujuan dari penelitian bahasa adalah untuk menyusun tata bahasa dari bahasa tersebut. Bahasa dapat dianggap sebagai kumpulan kalimat yang terdiri dari deretan bunyi yang mempunyai makna. Setiap tata bahasa dari suatu bahasa menurut Chomsky (dalam Chaer, 2007:364) adalah merupakan teori dari bahasa itu sendiri; dan tata bahasa itu harus memenuhi dua syarat, yaitu:
Pertama, kalimat yang dihasilkan oleh tata bahasa itu harus dapat diterima oleh pemakai bahasa tersebut, sebagai kalimat yang wajar dan tidak dibuat-buat. Kedua, tata bahasa tersebut harus berbentuk sedemikian rupa, sehingga satuan atau istilah yang digunakan tidak berdasarkan pada gejala bahasa tertentu saja, dan semuanya in harus sejajar dengan teori linguistik tertentu.
Tidak sama dengan tata bahasa strukturalis yang berusaha mendeskripsikan ciri-ciri bahasa tertentu, maka tata bahasa transformasi berusaha mendeskripsikan cirri-ciri kesemestaan bahasa. Lalu, karena pada mulanya teori tata bahasa ini dipakai untuk mendeskripsikan kaidah-kaidah bahasa Inggris, maka kemudian ketika para pengikut teori ini mencoba untuk menggunakannya terhadap bahasa-bahasa lain, timbullah berbagai masalah. Oleh karena itu, usaha-usaha perbaikan telah dilakukan oleh para bekas pengikut aliran ini. Umpamanya yang dilakukan oleh kaum semantic generative, aliran tata bahasa kasus, dan aliran tata bahasa relasional (Chaer, 2007:367-368).

3.2    Aliran Semantik Generatif
Menurut teori generatif semantik, struktur semantik, dan struktur sintaksis bersifat homogen, dan untuk menghubungkan kedua struktur itu cukup hanya dengan kaidah transformasi saja. Tidak perlu dengan bantuan kaidah lain, yakni kaidah sintaksis dasar, kaidah proyeksi, dan kaidah fonologi yang seperti diajarkan Chomsky. Menurut semantik generatif, sudah seharusnya semantic dan sintaksis diselidiki bersama sekaligus karena keduanya adalah satu. Struktur semantik itu serupa dengan struktur logika, berupa ikatan tidak berkala antara predikat dengan seperangkat argument dalam suatu proposisi (Chaer, 2007:369).
Menurut teori semantik generatif, argument adalah segala sesuatu yang dibicarakan; sedangkan predikat itu semua yang menunjukan hubungan, perbuatan, sifat, keanggotaan, dan sebagainya. Jadi, dalam menganalisis sebuah kalimat, teori ini berusa mengabstrasikan predikatnya dan menentukan argumen-argumennya. Dalam mengabstrasikan predikat, teori ini berusaha untuk menguraikannya lebih jauh sampai diperoleh predikat yang tidak dapat diuraikan lagi, yang disebut predikat inti. Begitulah teori yang diajukan kaum semantik generatif dalam usaha menganalisis struktur semantik dan struktur sintaksis untuk memperbaiki teori tata bahasa generatif transformasi (Chaer, 2007:370).

3.3    Aliran Tata Bahasa Kasus
Tata bahasa kasus pertama kali diperkenalkan oleh Charles J. Fillmore dalam karangannya berjudul “The Case for Case” tahun 1968. Dalam karangannya yang terbit tahun 1968 itu Fillmore membagi kalimat atas (1) modalitas, yang bisa berupa unsur negasi, kala, aspek, dan adverbial; dan (2) proposisi, yang terdiri dari sebuah verba disertai dengan sejumlah kasus. Kasus dalam teori ini adalah hubungan antara verba dengan nomina. Verba di sini sama dengan predikat, sedangkan nomina sama dengan argument dalam teori semantic generatif. Dari uraian di atas dapat dilihat adanya persamaan antara teori semantik generatif dengan teori kasus, yaitu sama-sama menumpukan teorinya pada predikat atau verba (Chaer, 2007:371-372).

3.4    Aliran Tata Bahasa Relasional
Tata bahasa relasional muncul pada tahun 1970-an sebagai tantangan langsung terhadap beberapa asumsi yang paling mendasar dari teori sintaksis yang dicanangkan oleh aliran tata bahasa transformasi. Sama halnya dengan tata bahasa transformasi, tata bahasa relasional juga berusaha mencari kaidah kesemestaan bahasa. Tata bahasa relasional bukanlah teori yang terakhir dalam perkembangan linguistik (Chaer, 2007:373,374,375).


DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Bandung: Rineka Cipta.
Pateda, Mansoer. 2011. Linguistik Sebuah Pengantar. Bandung: Angkasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar