Sabtu, 14 Desember 2013



Kelompok Emprit
1.    Mochamad Taukit                   NIM. 137835005 
2.    Sutianto Lizal                           NIM. 137835075 (pengunggah)
3.    Puspita Indriani                       NIM. 137835087

(draft 1)
BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Studi linguistik mengalami tiga tahap perkembangan, yaitu tahap spekulasi, tahap observasi, dan tahap perumusan teori. Pada tahap spekulasi, pernyataan-pernyataan tentang bahasa tidak didasarkan pada data empiris, melainkan pada dongeng atau cerita rekaan belaka. Pada tahap klasifikasi dan observasi, para ahli bahasa mengadakan pengamatan dan penggolongan terhadap bahasa-bahasa yang diselidiki tetapi belum sampai pada merumuskan teori. Pada tahap ketiga yakni tahap penyelidikan ilmiah dimana bahasa yang diteliti itu bukan hanya diamati dan diklasifikasi, tetapi juga telah dibuatkan teori-teorinya.
Dalam sejarah perkembangannya, linguistik dipenuhi dengan berbagai aliran, paham, pendekatan, dan teknik penyelidikan yang dari luar tampaknya sangat ruwet, saling berlawanan, dan membingungkan, terutama bagi para pemula. Namun sebenarnya semua itu akan menambah wawasan kita tentang bidang dan kajian linguistik. Lebih lanjut akan dibicarakan tentang aliran linguistik yang lebih khusus pada aliran tradisional.
Aliran tradisional boleh dikatakan sebagai aliran linguistik yang tertua namun karena ketaatannya pada kaidah menyebabkan aliran ini tetap eksis di zaman apapun. Istilah tradisional sering dipertentangkan dengan istilah struktural sehingga dalam pendidikan formal ada istilah tata bahasa tradisional dan tata bahasa struktural. Tata bahasa tradisional menganalisis bahasa berdasarkan filsafat dan semantik, sedangkan tata bahasa struktural berdasarkan struktur atau ciri-ciri formal yang ada dalam suatu bahasa tertentu. Selain itu, teori tradisional berdasarkan pola pemikiran secara filosofis. Dari latar belakang sejarahnya saja, kita bisa mengetahui bahwa munculnya teori ini bermula dari Plato dan Aristoteles yang kita kenal sebagai filosof besar bangsa Yunani.






B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan di atas, maka rumusan masalah dapat disusun seperti di bawah ini.
1.    Bagaimana munculnya aliran linguistik tradisional?
2.    Bagaimana ciri-ciri aliran linguistik tradisional?
3.    Siapa sajakah  para tokoh aliran aliran linguistik tradisional?
4.    Apakah kelebihan dan kelemahan aliran linguistik tradisional?
5.    Zaman-zaman apa saja yang terdapat pada aliran tradisional?
6.    Bagaimana analisis kalimat dalam aliran linguistik tradisional?
























BAB II
PEMBAHASAN

A.  Munculnya Aliran Linguistik Tradisional
Pada abad IV SM, seorang ahli filsafat bernama Plato (429 S.M.-348 S.M.) menelorkan pembagian jenis kata bahasa Yunani Kuno dalam kerangka telaah filsafatnya. Plato membagi jenis kata bahasa Yunani Kuno menjadi dua golongan yaitu onoma dan rhema. Onoma adalah jenis kata yang biasanya menjadi pangkal pernyataan atau pembicaraan. Adapun rhema adalah jenis kata yang biasanya dipakai untuk mengungkapkan pernyataan atau pembicaraan. Secara awam atau secara mudahnya onoma ini lebih kurang dapat disejajarkan dengan kata benda, sedangkan rhema lebih kurang disejajarkan dengan kata kerja atau kata sifat. Selanjutnya, Aristoteles (384 S.M.-322 S.M.) membagi jenis kata bahasa Yunani Kuno menjadi tiga golongan yakni onoma, rhema, dan syndesmos.
Perkembangan ilmu bahasa sampai pada masa itu terbatas pada telaah kata saja, khususnya tentang jenis kata. Tata bahasa atau gramatikal baru mulai diperhatikan pada akhir abad (130 S.M.) oleh Dyonisius Thrax. Buku tata bahasa yang pertama disusun itu berjudul “Techne Gramatike”. Buku inilah yang kemudian menjadi anutan para ahli tata bahasa yang lain yang kemudian dikenal sebagai penganut aliran tradisionalisme. Pada zaman ini pembagian jenis kata sudah mencapai delapan, yaitu: (1) nomina, (2) pronominal, (3) artikel, (4) verba, (5) adverbial, (6) preposisi, (7) partisipium, dan (8) konjugasi.

B.  Ciri-ciri Aliran Linguistik Tradisional
Tata bahasa tradisional menurut Abdul Chaer (2003:333)  menganalisis bahasa berdasarkan filsafat dan semantik. Dalam merumuskan kata kerja, misalnya, tata bahasa mengatakan kata kerja adalah kata yang menyatakan tindakan atau kejadian. Ciri-ciri aliran tradisional menurut Soeparno (2002:44) adalah sebagai berikut:
1.    Bertolak dari Pola Pikir secara Filosofis
Ada dua hal yang menjadi bukti bahwa aliran tradisional menggunakan landasan atau pola pikir filsafat ialah banyaknya pembagian jenis kata yang bersumber dari onoma-rhema produk Plato dan onoma-rhema-syndesmos produk Aristoteles; dan penggunaan istilah subjek dan predikat yang sampai saat ini menjadi materi utama dalam pembelajaran bahasa di sekolah.
2.    Tidak Membedakan Bahasa dan Tulisan
Teori ini mencampuradukkan pengertian bahasa (dalam arti yang sebenarnya) dan tulisan (perwujudan bahasa dengan media huruf). Dengan demikian, secara otomatis juga mencampuradukkan pengertian bunyi dan huruf. Sebagai bukti seorang ahli bahasa mencampuradukkan pengertian tersebut dapat dibaca pada kutipan “Antara vokal-vokal itu, huruf [a] adalah yang membentuk lubang mulut yang besar, [i] yang kecil, [e] biasanya terbentuk di dalam mulut sebelah muka, dan [o] di belakang sebelah ke dalam” (Mees dalam Soeparno, 2002:44).
3.    Senang Bermain dengan Definisi
Ciri ini merupakan pengaruh dari cara berpikir secara deduktif. Semua istilah diberi definisi terlebih dahulu kemudian diberi contoh, yang kadang-kadang hanya ala kadarnya. Teori ini tidak pernah menyajikan kenyataan-kenyataan bahasa yang kemudian dianalisis dan disimpulkan. Yang paling utama adalah memahami istilah dengan menghafal definisi yang dirumuskan secara filosofis.
4.    Pemakaian Bahasa Berkiblat pada Pola atau Kaidah
Ketaatan pada pola ini diwarisi sejak para ahli tata bahasa tradisional mengambil alih pola-pola Bahasa Latin untuk diterapkan pada bahasa mereka sendiri. Kaidah bahasa yang telah mereka susun dalam suatu bentuk buku tata bahasa harus benar-benar ditaati oleh pemakai bahasa. Setiap pelanggaran kaidah dinyatakan sebagai bahasa yang salah atau tercela. Pengajaran bahasa di sekolah mengajarkan bahasa persis yang tercantum di dalam buku tata bahasa. Praktik semacam itu mengakibatkan siswa pandai dan hafal akan teori-teori bahasa akan tetapi tidak mahir berbicara atau berbahasa di dalam kehidupan masyarakat. Tata bahasa yang mereka pakai itu biasa disebut tata bahasa normative dan tata bahasa preskriptif.
5.    Level-level Gramatik Belum Ditata Secara Rapi
Level (tataran) yang terendah menurut teori ini adalah huruf. Level di atas huruf adalah kata, sedangkan level yang tertinggi adalah kalimat. Menurut teori ini, huruf didefinisikan sebagai unsure bahasa yang terkecil, kata didefinisikan sebagai kumpulan dari huruf yang mengandung arti, sedangkan kalimat didefinisikan sebagai kumpulan kata yang mengandung arti lengkap.

6.    Tata Bahasa Didominasi oleh Jenis Kata (Part of Speech)
Ciri ini merupakan ciri yang paling menonjol di antara ciri-ciri yang lain. Hal ini dapat dimengerti karena masalah penjenisan kata merupakan aspek linguistik yang paling tua dalam sejarah kajian linguistik.

C.  Para Tokoh Aliran Aliran Linguistik Tradisional
Para tokoh yang menganut aliran linguistik tradisional, antara lain:
1.    Dionysius Thrax
2.    Zandvoort
3.    C.A. Mees
4.    van Ophuysen
5.    RO Winstedt
6.    Raja Ali Haji
7.    St. Moh. Zain
8.    St. Takdir Alisyahbana
9.    Madong Lubis
10.    Poedjawijatna
11.    Tardjan Hadidjaja

D.  Kelebihan dan Kelemahan Aliran Linguistik Tradisional
1.    Kelebihan Aliran Linguistik Tradisional
a.    Teori tradisional ini lebih tahan lama karena pola pikir aliran ini bertolak dari pola pikir filsafat.
b.    Aliran ini berkiblat pada bahasa tulis baku, maka keteraturan penggunaan bahasa bagi para penganutnya sangat dibangggakan.
c.    Aliran tradisional mampu menghasilkan generasi yang mempunyai kepandaian dalam menghafal istilah karena salah satu ciri aliran ini senang bermain dengan definisi.
d.   Aliran tradisional menjadikan penganutnya memiliki pengetahuan tata bahasa yang cukup tinggi karena pemakaian bahasa berkiblat pada pola atau kaidah.
e.    Aliran ini telah memberikan kontribusi besar terhadap penegakan prinsip: “yang benar adalah benar walaupun tidaka umum, dan yang salah adalah salah walaupun banyak pengikutnya”.
2.    Kelemahan Aliran Linguistik Tradisional
a.    Teori tradisional belum bisa membedakan bahasa dan tulisan sehingga pengertian antara bahasa dan tulisan masih kacau.
b.    Teori ini tidak pernah menyajikan kenyataan bahasa yang kemudian dianalisis dan disimpulkan, yang paling utama adalah memahami istilah dengan menghafal definisi yang dirumuskan secara filosofis.
c.    Pemakaian bahasa berkiblat pada pola atau kaidah sehingga siswa pandai dan hafal teori-teori bahasa akan tetapi tidak mahir sama sekali berbicara atau berbahasa di dalam kehidupan masyarakat.
d.   Level-level gramatikalnya belum rapi hanya tiga level yang secara pasti ditegakkan, yakni huruf, kata, dan kalimat.
e.    Pemerian bahasa menggunakan pola Bahasa Latin yang sangat berbeda dengan Bahasa Indonesia.
f.     Pemerian bahasa berdasarkan bahasa tulis baku padahal bahasa tulis baku hanya merupakan sebagian dari ragam bahasa yang ada.
g.    Permasalahan tata bahasa masih banyak didominasi oleh permasalahan jenis kata (part of speech), sehingga ruang lingkup permasalahan masih sangat sempit.
h.    Objek kajian hanya sampai dengan level kalimat, sehingga tidak memungkinkan menyentuh aspek komunikatif.

E.  Zaman-zaman yang Terdapat pada Aliran Tradisional
1.    Lingustik Zaman Yunani
Chaer (2003:333) menjelaskan bahwa studi bahasa pada zaman Yunani mempunyai sejarah yang sangat panjang, yaitu dari lebih kurang abad ke-5 S.M. sampai lebih kurang abad ke-2 M. Jadi, lebih kurang sekitar 600 tahun. Masalah pokok kebahasaan yang menjadi pertentangan para linguis pada waktu itu adalah (1) pertentangan antara fisis dan nomos dan (2) pertentangan antara analogi dan anomali.
Para filsuf Yunani mempertanyakan, apakah bahasa itu bersifat alami (fisis) atau bersifat konvensi (nomos). Bersifat alami atau fisis maksudnya bahasa itu mempunyai hubungan asal-usul, sumber dalam prinsip-prinsip abadi, dan tidak dapat diganti di luar manusia itu sendiri. Oleh karena itu, tidak dapat ditolak. Dalam bidang semantik, kelompok yang menganut faham ini, yaitu kaum naturalis yang berpendapat bahwa setiap kata mempunyai hubungan dengan benda yang ditunjuknya atau dengan kata lain setiap kata mempunyai makna secara alami (fisis). Sebaliknya kelompok lain yaitu kaum konvensional berpendapat bahwa bahasa bersifat konvensi yang artinya makna-makna kata kata itu diperoleh dari hasil-hasil tradisi atau kebiasaan-kebiasaan yang mempunyai kemungkinan bisa berubah.
Pertentangan analogi dan anomali menyangkut masalah bahasa itu sesuatu yang teratur atau tidak teratur. Yang termasuk ke dalam kaum analogi antara lain Plato dan Aristoteles yang berpendapat bahwa bahasa itu bersifat teratur. Karena adanya keteraturan itulah orang dapat menyusun tata bahasa. Jika tidak teratur tentu yang dapat disusun hanya idiom-idiom saja dari bahasa itu dan keteraturan bahasa itu juga tampak serta juga terjadi pembentukan jamak. Selanjutnya, kelompok anomali berpendapat bahwa bahasa itu tidak teratur. Kalau bahasa itu teratur, mengapa terdapat bentuk jamak.
Dari keterangan di atas tampak bahwa kaum anomali sejalan dengan kaum naturalis (fisis), dan kaum analogi sejalan dengan kaum konvensional (nomos). Pertentangan kedua kelompok tersebut, anomali dan analogi masih berlangsung sampai sekarang, terutama jika orang berbicara tentang filsafat bahasa.
Dari studi bahasa pada zaman Yunani ini kita bisa mengenal nama dari beberapa kaum atau tokoh yang mempuyai peranan besar dalam studi pada zaman Yunani. Di bawah ini akan dijelaskan secara singkat.

a.    Kaum Sophis
Kaum Sophis muncul pada abad ke-5 S.M. dan mereka terkenal dalam studi bahasa, antara lain:
1.    Mereka melakukan kerja secara empiris.
2.    Mereka melakukan kerja secara pasti dengan mengunakan ukuran-ukuran tertentu.
3.    Mereka sangat mementingkan retorika dalam studi bahasa.
4.    Mereka membedakan tipe-tipe kalimat berdasarkan isi dan makna.
Salah seorang tokoh dari kaum sophis bernama Phytagoras membagi kalimat menjadi kalimat narasi, kalimat tanya, kalimat jawab, kalimat perintah, kalimat laporan, do’a, dan undangan. Tokoh lain dari kaum Sophis yaitu Gorgias yang membicarakan gaya bahasa seperti yang sudah kita kenal sekarang.


b.   Plato (429-347 S.M.)
Plato yang hidup sebelum abad Masehi itu, dalam studi bahasa terkenal, antara lain dikarenakan.
1.    Dia memperdebatkan analogi dan anomali dalam bukunya Dialoog serta juga mengemukakan masalah bahasa alamiah dan bahasa konvensial.
2.    Dia menyodorkan batasan bahasa yang berbunyi: bahasa adalah pertanyaan pikiran manusia dengan perantara onomata dan rhemata.
3.    Dialah orang yang pertama kali membedakan kata dalam onoma dan rhema.
Onoma (bentuk tunggalnya onomata) dapat berarti: (1) nama, dalam sehari-hari; (2) nomina, nominal dalam istilah tata bahasa; dan (3) subjek, dalam hubungan subjek logis. Sedangkan rhema (bentuk tunggalnya rhemata) dapat berarti: (1) ucapan, dalam sehari-hari; (2) verba, dalam istilah tata bahasa; dan (3) predikat, dalam hubungan predikat logis. Keduanya merupakan anggota logos, yaitu kalimat atau klausa.

c.    Aristoteles (384-322 S.M.)
Aristoteles adalah salah seorang murid dari Plato. Dalam studi bahasa dia terkenal dikarenakan.
1.    Dia menambahkan satu kelas lagi atas pembagian yang dibuat oleh gurunya, Plato, yaitu syndesmoi. Jadi, menurutnya ada tiga macam kelas kata yaitu onoma, rhema, dan syndesmoi. Syndesmoi yaitu kata-kata yang lebih banyak bertugas dalam hubung sintaksis (sama dengan preposisi dan konjungsi yang kita kenal sekarang).
2.    Dia membedakan jenis kelamin kata (gender) menjadi tiga yaitu maskulin, feminin, dan neutrum.
Aristoteles selalu bertolak dari logika dan dia sudah memberikan pengertian, definisi, konsep, makna, dan sebagainya selalu berdasar pada logika.

d.   Kaum Stoik
Kaum Stoik Adalah kelompok ahli filsafat yang berkembang pada permulaan abad ke-4 S.M. dalam studi bahasa, kaum Stoik terkenal dikarenakan.
1.    Mereka membedakan studi bahasa secara logika dan studi bahasa secara tata bahasa.
2.    Mereka menciptakan istilah-istilah khusus untuk studi bahasa.
3.    Mereka membedakan tiga komponen utama dari studi bahasa yaitu (1) tanda, simbol, sign atau semainon; (2) makna, apa yang sebut semainomen atau lekton; dan (3) hal-hal di luar bahasa, yakni benda atau situasi.
4.    Mereka membedakan legein, yaitu bunyi yang merupakan bagian dari fonologi tetapi tidak bermakna dan propheretal yaitu ucapan bunyi bahasa yang mengandung makna.
5.    Mereka membagi jenis kata menjadi empat, yaitu kata benda, kata kerja, syndesmoi, dan arthoron, yaitu kata-kata yang menyatakan jenis kelamin dan jumlah.
6.    Mereka membedakan adanya kata kerja komplet dan kata kerja tidak komplet, serta kata kerja aktif dan kata kerja pasif.
Dari uraian di atas tampak jelas bahwa yang telah dihasilkan oleh kaum Stoik lebih jauh daripada yang telah dihasilkan oleh atau pada zaman Plato dan Aristoteles.

e.    Kaum Alexandrian
Kaum Alexandrian menganut paham analogi dalam studi bahasa. Oleh karena itulah dari mereka kita mewarisi sebuah buku tata bahasa yang bisebut “Tata Bahasa Dionysius Thrax” sebagai hasil mereka dalam menyelidiki kereguleran Bahasa Yunani. Buku tersebut lahir lebih kurang tahun 100 S.M. dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin oleh Remmius Palaemon pada permulaan abad pertama Masehi dengan judul “Ars Grammatika”. Buku itulah yang kemudian dijadikan model dalam penyusunan buku tata bahasa Eropa lainnya. Karena sifatnya yang mentradisi, maka buku tersebut sekarang dikenal dengan sebutan tata bahasa tradisonal dan cikal bakal tata bahasa tradisonal tersebut berasal dari buku “Tata Bahasa Dionysius Thrax”.

2.    Zaman Romawi   
            Studi bahasa pada zaman Romawi dapat dianggap kelanjutan dari zaman Yunani, sejalan dengan jatuhnya Yunani, dan munculnya Kerajaan Romawi. Boleh dikatakan orang Romawi mendapat pengalamandalam bidang linguistik dari orang Yunani. Pada awal abad pertama Remmius Palaemon telah menerjemahkan buku “Tata Bahasa Dionysius Thrax” ke dalam Bahasa Latin dengan judul “Ars Grammatika”. Tokoh pada zaman Rowami yang terkenal, antara lain: Varro (116-27 S.M.) dengan karyanya “De Lingua Latina” dan Priscia dengan karyanya “Institutiones Grammaticae”.

a.    Varro dan “De Lingua Latina”
Dalam buku “De Lingua Latina” yang terdiri dari 25 jilid, Varro juga masih memperdebatkan masalah analogi dan anomali seperti pada zaman Stoik di Yunani. Buku ini dibagi dalam bidang-bidang etimologi, morfologi, dan sintaksis.
1.    Etimologi adalah cabang lingustik yang meyelidiki asal usul kata beserta artinya. Dalam bidang ini Varro mencatat adanya perubahan bunyi yang terjadi dari zaman ke zaman serta perubahan makna kata. Kelemahan Varro dalam bidang etimologi ini adalah dia menganggap kata-kata Latin dan Yunani yang berbentuk sama adalah pinjaman langsung. Padahal banyak dari kata Latin dan Yunani yang harus direkonstruksikan kembali kepada satu bahasa purba atau bahasa proto yang lebih tua.
2.    Morfologi adalah cabang lingustik yang mempelajari kata dan pembentukannya. Menurut Varro, kata adalah bagian dari ucapan tidak dapat dibedakan lagi dan merupakan bentuk minimum. Menurut Varro, dalam Bahasa Latin ada kata-kata yang terjadi secara analogi dan ada juga yang terjadi secara anomali. Jadi, ada bentuk yang reguler dan ada juga yang tidak reguler. Dalam menyusun kata, Varro membagi tiga kelas kata Latin dalam empat bagian, yaitu:
a.    Kata benda, termasuk kata sifat, yakni kata yang disebut berinfleksi kasus.
b.    Kata kerja, yakni kata yang membuat pernyataan, yang berinfleksi “tense”.
c.    Partisipel, yakni kata yang menghubungkan (dalam sintaksis kata benda dan kata kerja), yang berinfleksi kasus dan “tense”.
d.   Adverbium, yakni kata yang mendukung (anggota bawahan dari kata kerja), yang tidak berinfleksi.
Kategori kata kerja dibedakan atas “tense”, “time”, dan “aspect” serta aktif dan pasif.
Tentang kasus dalam Bahasa Yunani ada lima buah, maka dalam Bahasa Latin menurut Varro ada enam buah, yaitu: (1) nominativus, yaitu bentuk primer atau pokok; (2) genetivus, yaitu bentuk yang menyatakan kepunyaan; (3) dativus, yaitu bentuk yang menyatakan menerima; (4) akusativus, yaitu bentuk yang menyatakan objek; (5) vokatikus, yaitu bentuk sebagai sapaan atau panggilan; dan (6) ablativus, yaitu bentuk yang menyatakan asal.
Mengenal deklinasi, yaitu perubahan bentuk kata yang berkenaan dengan kategori, kasus, jumlah, dan jenis. Varro membedakan adanya dua macam deklinas, yaitu deklinasi naturalis dan deklinasi voluntaris. Yang dimaksud dengan deklinasi naturalis adalah perubahan yang bersifat alamiah, sebab perubahan itu dengan sendirinya dan sudah berpola. Deklinasi ini pada umumnya bersifat reguler dan biasanya sudah dapat diketahui pemakai bahasa dengan serta merta tanpa ragu-ragu. Sebaliknya, deklinasi voluntaris perubahannya terjadi secara morfologis bersifat selektif dan manasuka. Jadi, sifatnya reguler. Oleh karena itu, para pemakai bahasa harus sadar bagaimana ia harus melaksanakan deklinasi itu

b.   Institutiones Grammaticae” atau Tata Bahasa Priscia
Dalam sejarah studi bahasa, buku tata bahasa Priscia ini, yang terdiri dari 18 jilid (16 jilid tentang morfologi dan 2 jilid tentang sintaksis) yang dianggap sangat penting, karena:
1.    merupakan buku tata bahasa Latin yang paling lengkap yang ditunturkan oleh  pembicara aslinya;
2.    teori-teori tata bahasanya merupakan tonggak-tonggak utama pembicaran bahasa secara tradisional.
Buku tata bahasa ini kemudian menjadi model dan contoh dalam penulisan buku tata bahasa bahasa-bahasa lain di Eropa dan di bagian dunia lain. Sebagai buku tata bahasa tradisional, buku ini secara nyata dan pasti menggunakan semantik atau makna sebagai norma utama pembahasan bahasa, walaupun segi-segi formal bahasa juga dibicarakan. Beberapa segi yang patut dibicarakan tentang buku ini, antara lain, adalah:
a.    Fonologi, dalam bidang ini pertama-tama dibicarakan tulisan atau huruf yang disebut “litterae”.Litterae” adalah bagian terkecil dari bunyi yang dapat dituliskan. Nama huruf-huruf itu disebut “figurae”, sedangkan nilai bunyi itu disebut “potestas”. Bunyi itu dibedakan atas empat macam, yaitu: (1) vox artikulata, bunyi yang diucapkan untuk membedakan makna; (2) vox martikulata, bunyi yang tidak diucapkan untuk menunjukkan makna; (3) vox litterata, yaitu bunyi yang dapat dituliskan baik yang artikulata maupun yang matrikulata; dan (4) vox illiterata, yaitu bunyi yang tidak dapat dituliskan.
b.    Morfologi, dalam bidang ini dibicarakan mengenai dictio atau kata. Diction atau kata adalah bagian yang minimum dari sebuah ujaran dan harus diartikan terpisah dalam makna sebagai satu-kesatuan. Diction atau kata tersebut dibagi menjadi delapan jenis yang disebut partes orationis. Kedelapan jenis kata itu adalah: (1) nomen, termasuk kata benda dan kata sifat menurut klasifikasi sekarang; (2) verbum, yaitu kata yang menyatakan perbuatan atau dikenal dengan perbuatan; (3) participium, yaitu kata yang selalu berderivasi dari verbum, mengambil kategori verbum dan nomen; (4) pronomen, yaitu kata-kata yang dapat menggantikan nomen; (5) adverbium, yaitu kata-kata yang secara sintaksis dan semantik merupakan atribut dari verbum; (6) praepositio, yaitu kata-kata yang terletak di depan bentuk yang berkasus; (7) interjectio, yaitu kata-kata yang menyatakan perasaan, sikap, atau pikiran; dan (8) conjunctio, yaitu kata-kata yang bertugas menghubungkan anggota-anggota kelas kata yang lain untuk menyatakan hubungan sesamanya.
c.    Sintaksis, membicarakan tentang hal yang disebut oratio, yaitu tata susun kata yang berselaras dan menunjukan kalimat itu selesai. Selain itu, sebuah kata dapat menjadi sebuah kalimat yang penuh.
Akhirnya, buku “Institutiones Grammaticae” ini telah menjadi dasar tata bahasa Latin dan filsafat zaman pertengahan.

c.    Zaman Pertengahan
Studi bahasa pada zaman pertengahan di Eropa mendapat perhatian penuh terutama oleh para filsuf skolastik dan Bahasa Latin menjadi lingua franca, karena dipakai sebagai bahasa gereja, bahasa diplomasi, dan bahasa ilmu pengetahuan. Dari zaman pertengahan ini yang patut dibicarakan dalam studi bahasa, antara lain adalah peranan Kaum Modistae, Tata Bahasa Spekulativa, dan Petrus Hispanus.
1.    Peranan Kaum Modistae
Kaum Modistae masih membicarakan pertentangan fisis dan nomos dan pertentangan antara analogi dan anomali. Mereka menerima konsep analogi karena menurut mereka bahasa itu bersifat reguler dan bersifat universal.
2.    Tata Bahasa Spekulativa
Tata Bahasa Spektulativa merupakan hasil integrasi deskripsi gramatikal Bahasa Latin (seperti yang dirumuskan oleh Priscia) ke dalam filsafat skolastik. Kata tidak secara langsung  mewakili alam dari benda yang ditunjuk. Kata hanya mewakili hal adanya benda itu dalam berbagai cara, modus, substansi, aksi, kualitas, dan sebagainya. Semua bahasa akan mempunyai kata untuk konsep yang sama dan semua bahasa akan menyatakan kesamaan jenis kata dan kategori-kategori gramatikal lainnya. Salah seorang gramatikus dari zaman ini adalah Peter Hellas. Dia mengikuti jejak Priscia, tetapi dia selalu memberikan komentar berdasarkan logika Aristoteles.
3.    Perus Hispanus
Perus Hispanus pernah menjadi Paus, yaitu pada tahun 1276-1277 dengan gelar Paus Johannes XXI. Bukunya yang berjudul “Summulae Logicales”. Peranannya dalam bidang linguistik, antara lain:
a.    Dia telah memasukkan psikologi dalam analisis makna bahasa. Dia juga membedakan antara signifikasi utama dan konsignifikasi, yaitu perbedaan pengertian pada bentuk akar dan pengertian yang dikandung oleh imbuhan-imbuhan.
b.    Dia telah membedakan nomen atas dan macam, yaitu nomen substantivum dan nomen adjectivum.
c.    Dia telah membedakan partes orationes atas categoremetik (semua bentuk yang dapat menjadi subyek atau predikat) dan syntategorematik (semua bentuk tutur lainnya).

d.   Zaman Renaisans
Zaman Renaisans dianggap sebagai zaman pembukaan abad pemikiran abad modern. Dalam sejarah studi bahasa, ada dua hal pada zaman Renaisans yang menonjol yang perlu dicatat, yaitu:
1.    Penguasaan beberapa bahasa oleh sarjana-sarjana pada waktu itu (Latin, Yunani, Ibrani, dan Arab).
2.    Selain bahasa Yunani, Latin, Ibrani, dan Arab, bahasa-bahasa Eropa lainnya juga mendapat perhatian dalam bentuk pembahasan, penyusunan tata bahasa, dan malah juga perbandingan.
Bahasa Ibrani dan bahasa Arab banyak di pelajari orang pada akhir abad pertengahan. Kedua bahasa itu diakui resmi pada akhir abad ke-14 di Universitas Paris. Bahasa Ibrani perlu diketahui dan dipelajari karena kedudukannya sebagai bahasa kitab Perjanjian Lama dan kitab Perjanjian Baru. Beberapa buku tentang tata bahasa Ibrani pernah ditulis oleh orang pada zaman Renaisans yang di antaranya: Roger Bacon, Reuchlin, dan N. Clenard. Buku tata bahasa yang pernah ditulis oleh Reuchlin berjudul “De Rudimentis Hebraicis” yang berisi tentang penggolongan kata. Dia menggolongkan kata Bahasa Ibrani atas nomen, verbum, dan partikel. Penggolongan kata tersebut mirip dengan penggolongan kata dalam linguistik Arab yang menjadi ismun, fi’lun, dan harfun. Sesungguhnya Bahasa Ibrani dan Arab adalah dua bahasa yang serumpun dan perkembangan studi bahasa Ibrani juga sejalan dengan perkembangan linguistik Bahasa Arab yang terlebih dahulu memperoleh kemajuan.
Linguistik Arab berkembang pesat karena kedudukan bahasa Arab sebagai bahasa kitab suci agama Islam, yaitu Qur’an. Sedangkan bahasa kitab suci menurut pendapat kebanyakan Ulama Islam tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa lain dan hanya boleh ditafsirkan saja. Ada dua aliran linguistik Arab, yaitu:
1.    Aliran Basra (mendapat pengaruh konsep analogi dari zaman Yunani yang senantiasa berpegang teguh pada kereguleran dan kesistematisan Bahasa Arab).
2.    Aliran Kufah (menganut paham anomali karena mereka lebih memberikan perhatian kepada keanekaragaman bahasa).
Bahasa-bahasa Eropa, dimana yang mendapat perhatian secara khusus dan serius adalah studi tentang bahasa Roman atau Neo-Latin. Lebih-lebih setelah Dante menulis buku yang berjudul “De Vulgari Eloquentia” pada permulaan abad ke-14 yang berisi tentang bahasa yang dipakai sehari-hari yang diketahui sejak kecil. Dia juga mengusulkan agar Bahasa Italia dijadikan bahasa persatuan di seluruh Italia. Adanya hubungan antara bahasa-bahasa Roman dengan Bahasa Latin menyebabkan timbulnya studi bahasa-bahasa secara diakronik.
Bahasa-bahasa Di Luar Eropa, mendapat perhatian dalam studi bahasa karena adanya kegiatan (keagamaan, politik, perdagangan, dan sebagainya) para misionaris ke luar negeri yang jauh dari Eropa dan harus melibatkan mereka dengan bahasa-bahasa tersebut sehingga muncul berbagai tulisan tentang bahasa-bahasa seperti yang terdapat di India, Jepang, Indonesia, dan lain-lainnya. Selain itu, misi tersebut juga berguna untuk menyadarkan pula akan perlunya sebuah bahasa yang dapat dipakai sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) antarbangsa.



e.    Menjelang Lahirnya Linguistik Modern
Ferdinand de Saussure dianggap sebagai bapak Linguistik Modern. Masa antara lahirnya linguistik modern dengan masa berakhirnya zaman Renaisans ada satu tonggak yang sangat penting dalam sejarah studi bahasa. Tonggak yang dianggap sangat penting itu adalah dinyatakannya adanya hubungan kekerabatan antara Bahasa Sanskerta dengan bahasa-bahasa Yunani, Latin, dan bahasa Jerman lainnya. Hal tersebut dikemukakan oleh Sir William Jones dari East India Company di hadapan The Royal Asiatic Society di Kalkuta, India pada tahun 1786. Pernyataan Beliau telah membuka babak baru sejarah linguistik, yaitu dengan berkembangnya studi linguistik bandingan atau linguistik historis komparatif serta studi tentang hakikat bahasa secara linguistik terlepas dari masalah filsafat Yunani Kuno.

F.   Analisis Kalimat Dalam Aliran Linguistik Tradisional
1.    Zaman Yunani
Pada Zaman ini, para tokooh banyak berkutat untuk mempertentangkan perihal fisis dan nomos, naturalis dan konvensional, analogi dan anomaly. Pertentangan-pertentangan ini, tampaknya menjadi tumpuan bagi beberapa kaum dan tokoh yang muncul dalam studi bahasa tersebut.
a.    Kaum Sophis yang berdasarkan isi dan maknanya mereka telah membagi kalimat menjadi 7 bagian yaitu: kalimat narasi, kalimat tanya, kalimat jawab, kalimat perintah, kalimat laporan, doa. dan undangan. Merujuk pada pembagian kalimat tersebut, maka keenam kalimat tersebut hanya bisa dibedakan berdasarkan jenis kalimatnya sebagai berikut:

Bapak sare, kula sira.

“ayah tidur aku siram” adalah jenis kalimat narasi yang menceritakan adanya aktifitas tidur yang dilakukan oleh ayah, dan saya melakukan aktivitas mandi.
Sebenarnya, akan lebih tepat jika penggolongan jenis kalimat tidak disebutkan sebagai jenis narasi yang berisi cerita, tetapi lebih tepatnya kalimat berita yang berisi informasi. Karena pada dasarnya sebuah narasi tidak dapat disajikan dalam bentuk kalimat tetapi disajikan dalam bentuk paragraf.

b.    Plato (429-347 S.M.)
Dengan konsepnya onoma (nama) atau sejajar dengan subjek dan rhema (ucapan) atau sejajar dengan verba yang bisa menduduki posisi predikat. Penerapannya sebagai berikut:

Bapak  sare, kula siram.
     S       P      S       P

Terbukti bahwa konsep Plato tersebut dapat diterima.

c.    Aristoteles (384-322 S.M.)
Dengan konsepnya yang menambahkan kelas kata syndesmoi pada konsep Plato yang terdiri dari anoma dan rhema. Syndesmoi adalah konjungsi. Penerapannya sebagai berikut:

Bapak sare               (,)                 kula siram.
    S       P   penghubung(implisit)   S      P

Kalimat tersebut memiliki dua klausa yang saling berhubungan. Hanya saja, untuk menghubungkanya tidak digunakan konjungsi, tetapi menggunakan tanda koma (,) yang bisa digantikan dengan konjungsi ‘nalika’.

d.   Kaum Stoik
Konsep yang dihasilkan oleh Kaum Stoik adalah:
1)   adanya semaion, makna dan benda ataupun situasi.
2)   bunyi yang bermakna (propheretal) dan tidak bermakna (legein).
3)   ada 4 jenis kata yaitu kata benda, kata kerja, syndesmoi, dan arthoron.
4)   kata kerja komplet, kata kerja tak komplet, dan kata kerja aktif dan kata kerja pasif.
Pada kalimat Bapak sare, kula siram menunjukkan ada simbol yang berupa kata atau tulisan yang diiringi dengan maknanya yang menunjukkan situasi yang terjadi. Pada kalimat itu pula, ditemukan bunyi yang bermakna (propheretal) dan di dalam kalimat tersebut juga ditemukan kata benda yang sejajar dengan subjek, kata kerja yang sejajar dengan Predikat, syndesmoi yang terwakili oleh tanda koma (,). Sedangkan arthoron tidak tampak ada, karena dalam kalimat tersebut tidak ada kata yang merujuk pada kata yang berjenis kelamin atau jumlah. Kalimat tersebut merupakan kalimat aktif yang ditunjukkan dengan adanya subjek yang beraktifitas melakukan pekerjaan.

2.    Zaman Romawi
Tokoh yang terkenal di dalamya adalah Varro dan Institutiones Grammaticae atau Tata Bahasa Priscia.
Varro memperkenalkan hasil studi bahasannya sebagai berikut:
a.    Varro
1)   etimologis
Varro menyatakan bahwa terjadi perubahan bunyi dari zaman ke zaman.
2)   morfologi
Dalam hal morfologi, Varro membagi kelas kata latin menjadi 4 yaitu:
a)    kata benda termasuk kata sifat yaitu kata yang berinflesi kasus.
b)   kata kerja yaitu kata yang membuat pernyataan, yang berinfleksi “tense”.
c)    partisipel, kata yang mengubungkan (kata benda dan kata kerja dalam sintaksis) yang tidak berinfleksi.
d)   adverbium, yakni kata yang mendukung (anggota bawahan dari kata kerja) yang tidak berinfleksi (Chaer, 2003:339)
Pada kalimat bapak sare, kula siram tidak bisa diterapkan secara persis dengan konsep tersebut, karena dalam Bahasa Jawa tidak terdapat kata kerja yang berinfleksi dengan “tenses”. Pada bagian partisipel, kalimat Bapak sare, kula siram ini bisa diperikan sebagai berikut:

Bapak sare     ,     kula siram
    S       P    Kon     S      P

Kata penghubung pada kalimat tersebut adalah adanya tanda koma (,) yang tidak berinfleksi dengan apapun. Dalam kalimat ini, tidak terdapat adverbium karena masing-masing predikat tidak disertai kata lain.



b.    Institutiones Grammaticae atau Tata Bahasa Priscia
Buku Tata Bahasa Priscia ini dibicarakan mengenai tiga studi kebahasaan, meliputi (a) fonologi, (b) morfologi dan (c) sintaksis. Dalam fonologi, Beliau membedakan adaya empat bunyi yaitu: (1) Vox artikulata, (2) Vox martikulata, (3) Vox literata dan (4) Vox illiterate. Dalam morfologi, Priscia mengetengahkan tentang (1) nomen, (2) verbum, (3) participium, (4) pronomen, (5) adverbium, (6) praepositio, (7) interjection, dan (8) conjunction.
Menurut Tata Bahasa Priscia, kalimat Bapak sare, kula  siram terdiri dari:
Bapak    : nomen
Sare        : verbum
Kula       : nomen
Siram     : verbum





















BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
1.    Tahap perkembangan bahasa terdiri atas tahap spekulasi, klasifikasi, dan rumusan teori. Aliran tradisional baru mencapai tahap spekulasi dan klasifikasi.
2.    Ciri-ciri aliran tradisional bertolak dari pola pikir secara filosofis, tidak membedakan bahasa dan tulisan, senang bermain dengan definisi, pemakaian bahasa berkiblat pada pola/kaidah, level-level gramatik belum ditata secara rapi, tata bahasa didominasi oleh jenis kata (part of speech).
3.    Aliran tradisional juga memiliki banyak kelebihan dan kelemahan.
4.    Linguistik tradisional sering dipertentangkan dengan bahasa struktural, bedanya tata bahasa tradisional menganalisis bahasa pada filsafat dan semantik, sedangkan tata bahasa struktural berdasarkan struktur/ciri formal yang ada pada suatu bahasa tertentu.
5.    Zaman-zaman yang terdapat pada aliran tradisional adalah sebagai berikut:
a.    Linguistik Zaman Yunani.
b.    Linguistik Zaman Romawi.
c.    Linguistik Zaman Pertengahan.
d.   Zaman Renaissans.
e.    Menjelang Lahirnya Linguistik Modern.
6.    Analisis kalimat Bapak turu, kula siram berdasarkan  linguistik tradisional, yaitu:
a.    Berdasarkan intonasi, kalimat ini adalah kalimat berita.
b.    Berdasarkan jenis kata yang mengisi predikat, kalimat ini termasuk kalimat verba.
c.    Berdasarkan keperluan terhadap objek, kalimat ini termasuk kalimat intransitif murni (tidak membutuhkan objek).
d.   Berdasarkan subjek yang melakukan pekerjaan, kalimat ini termasuk kalimat aktif.
e.    Berdasarkan susunan subjek-predikat, kalimat ini termasuk kalimat normal (inversi).
f.     Berdasarkan kelengkapan fungsi, kalimat ini termasuk kalimat lengkap.
g.    Berdasarkan jumlah pola, kalimat ini termasuk kalimat majemuk karena terdiri dari 2 kalimat tunggal, yaitu:
1)   Bapak sare.
2)   Kula siram.
Kalimat tersebut memang tidak dihubungkan oleh konjungsi secara eksplisit, tetapi dihubungkan oleh tanda koma (,) yang secara implisit menghubungkan kalimat tersebut.

B.  Saran
1.    Makalah tentang aliran tradisional ini hendaknya dapat menjadi sumber belajar untuk mengadakan pengkajian aliran ini di masa mendatang.
2.    Makalah ini masih terbatas pada pembahasan tentang sejarah, ciri-ciri, kelebihan dan kelemahan aliran tradisional, dan zaman-zaman yang terdapat pada aliran tradisional. Pada pengkajian selanjutnya diharapkan lebih mendalam dan lebih luas.





















DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Soeparno. 2002. Dasar-dasar Linguistik Umum. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.


Laba Nur Songo. Makalah Linguistik Tradisional.
http://labanursongo.blogspot.com/2013/12/makalah-linguistik-tradisional.html. unduh pada 3 Desember 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar