Nama Kelompok : Manuk Emprit
Anggota : Muhammad Taukit (137835005)
Puspita Indriani (137835087)
Sutianto Lizal (137835075)
_______________________________________________________________________
TUGAS LINGUISTIK
ALIRAN TRADISIONAL
(Suntingan ke-1)
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Studi linguistik mengalami tiga tahap perkembangan, yaitu tahap spekulasi,
tahap observasi, dan tahap perumusan teori. Pada tahap spekulasi,
pernyataan-pernyataan tentang bahasa tidak didasarkan pada data empiris,
melainkan pada dongeng atau cerita rekaan belaka. Pada tahap klasifikasi dan
observasi, para ahli bahasa mengadakan pengamatan dan penggolongan terhadap
bahasa-bahasa yang diselidiki tetapi belum sampai pada merumuskan teori. Pada
tahap ketiga yakni tahap penyelidikan ilmiah dimana bahasa yang diteliti itu
bukan hanya diamati dan diklasifikasi, tetapi juga telah dibuatkan
teori-teorinya.
Dalam
sejarah perkembangannya, linguistik dipenuhi dengan berbagai aliran, paham,
pendekatan, dan teknik penyelidikan yang dari luar tampaknya sangat ruwet,
saling berlawanan, dan membingungkan, terutama bagi para pemula. Namun
sebenarnya semua itu akan menambah wawasan kita tentang bidang dan kajian
linguistik. Lebih lanjut akan dibicarakan tentang aliran linguistik yang lebih
khusus pada aliran tradisional.
Aliran tradisional boleh dikatakan sebagai aliran linguistik yang tertua namun karena ketaatannya pada
kaidah menyebabkan aliran ini tetap eksis di zaman apapun. Istilah tradisional sering
dipertentangkan dengan istilah struktural sehingga dalam pendidikan formal ada
istilah tata bahasa tradisional dan tata bahasa struktural. Tata bahasa
tradisional menganalisis bahasa berdasarkan filsafat dan semantik, sedangkan
tata bahasa struktural berdasarkan struktur atau ciri-ciri formal yang ada
dalam suatu bahasa tertentu. Selain itu, teori tradisional berdasarkan pola
pemikiran secara filosofis. Dari latar belakang sejarahnya saja, kita bisa
mengetahui bahwa munculnya teori ini bermula dari Plato dan Aristoteles yang
kita kenal sebagai filosof besar bangsa Yunani.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang yang sudah dijelaskan di atas, maka rumusan masalah dapat disusun
seperti di bawah ini.
1.
Bagaimana
munculnya aliran linguistik tradisional?
2.
Bagaimana
ciri-ciri aliran linguistik tradisional?
3.
Siapa
sajakah para tokoh aliran aliran
linguistik tradisional?
4.
Apakah
kelebihan dan kelemahan aliran linguistik tradisional?
5.
Zaman-zaman apa saja yang terdapat
pada aliran tradisional?
6.
Bagaimana
analisis kalimat dalam aliran linguistik tradisional?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Munculnya
Aliran Linguistik Tradisional
Pada abad IV
SM, seorang ahli filsafat bernama Plato (429 S.M.-348 S.M.) menelorkan
pembagian jenis kata bahasa Yunani Kuno dalam kerangka telaah filsafatnya.
Plato membagi jenis kata bahasa Yunani Kuno menjadi dua golongan yaitu onoma dan rhema. Onoma adalah jenis
kata yang biasanya menjadi pangkal pernyataan atau pembicaraan. Adapun rhema adalah jenis kata yang biasanya
dipakai untuk mengungkapkan pernyataan atau pembicaraan. Secara awam atau
secara mudahnya onoma ini lebih
kurang dapat disejajarkan dengan kata benda, sedangkan rhema lebih kurang disejajarkan dengan kata kerja atau kata sifat.
Selanjutnya, Aristoteles (384 S.M.-322 S.M.) membagi jenis kata bahasa Yunani
Kuno menjadi tiga golongan yakni onoma,
rhema, dan syndesmos.
Perkembangan
ilmu bahasa sampai pada masa itu terbatas pada telaah kata saja, khususnya
tentang jenis kata. Tata bahasa atau gramatikal baru mulai diperhatikan pada
akhir abad (130 S.M.) oleh Dyonisius Thrax. Buku tata bahasa yang pertama
disusun itu berjudul “Techne Gramatike”. Buku inilah yang kemudian menjadi
anutan para ahli tata bahasa yang lain yang kemudian dikenal sebagai penganut
aliran tradisionalisme. Pada zaman ini pembagian jenis kata sudah mencapai
delapan, yaitu: (1) nomina, (2) pronominal, (3) artikel, (4) verba, (5)
adverbial, (6) preposisi, (7) partisipium, dan (8) konjugasi.
B. Ciri-ciri
Aliran Linguistik Tradisional
Tata bahasa
tradisional menurut Abdul Chaer (2003:333) menganalisis bahasa
berdasarkan filsafat dan semantik. Dalam merumuskan kata kerja, misalnya, tata
bahasa mengatakan kata kerja adalah kata yang menyatakan tindakan atau
kejadian. Ciri-ciri aliran tradisional menurut Soeparno (2002:44) adalah
sebagai berikut:
1.
Bertolak dari Pola Pikir secara
Filosofis
Ada dua hal yang menjadi bukti bahwa aliran
tradisional menggunakan landasan atau pola pikir filsafat ialah banyaknya
pembagian jenis kata yang bersumber dari onoma-rhema produk Plato dan onoma-rhema-syndesmos produk
Aristoteles; dan penggunaan istilah subjek dan predikat yang sampai saat ini
menjadi materi utama dalam pembelajaran bahasa di sekolah.
2.
Tidak Membedakan Bahasa dan Tulisan
Teori ini mencampuradukkan pengertian bahasa (dalam
arti yang sebenarnya) dan tulisan (perwujudan bahasa dengan media huruf).
Dengan demikian, secara otomatis juga mencampuradukkan pengertian bunyi dan
huruf. Sebagai bukti seorang ahli bahasa mencampuradukkan pengertian tersebut
dapat dibaca pada kutipan “Antara vokal-vokal itu, huruf [a] adalah yang
membentuk lubang mulut yang besar, [i] yang kecil, [e] biasanya terbentuk di
dalam mulut sebelah muka, dan [o] di belakang sebelah ke dalam” (Mees dalam
Soeparno, 2002:44).
3.
Senang Bermain dengan Definisi
Ciri ini merupakan pengaruh dari cara berpikir secara
deduktif. Semua istilah diberi definisi terlebih dahulu kemudian diberi contoh,
yang kadang-kadang hanya ala kadarnya. Teori ini tidak pernah menyajikan
kenyataan-kenyataan bahasa yang kemudian dianalisis dan disimpulkan. Yang
paling utama adalah memahami istilah dengan menghafal definisi yang dirumuskan
secara filosofis.
4.
Pemakaian Bahasa Berkiblat pada Pola
atau Kaidah
Ketaatan pada pola ini diwarisi sejak para ahli tata
bahasa tradisional mengambil alih pola-pola Bahasa Latin untuk diterapkan pada
bahasa mereka sendiri. Kaidah bahasa yang telah mereka susun dalam suatu bentuk
buku tata bahasa harus benar-benar ditaati oleh pemakai bahasa. Setiap
pelanggaran kaidah dinyatakan sebagai bahasa yang salah atau tercela.
Pengajaran bahasa di sekolah mengajarkan bahasa persis yang tercantum di dalam
buku tata bahasa. Praktik semacam itu mengakibatkan siswa pandai dan hafal akan
teori-teori bahasa akan tetapi tidak mahir berbicara atau berbahasa di dalam
kehidupan masyarakat. Tata bahasa yang mereka pakai itu biasa disebut tata
bahasa normative dan tata bahasa preskriptif.
5.
Level-level Gramatik Belum Ditata
Secara Rapi
Level (tataran) yang terendah menurut teori ini adalah
huruf. Level di atas huruf adalah kata, sedangkan level yang tertinggi adalah
kalimat. Menurut teori ini, huruf didefinisikan sebagai unsure bahasa yang
terkecil, kata didefinisikan sebagai kumpulan dari huruf yang mengandung arti,
sedangkan kalimat didefinisikan sebagai kumpulan kata yang mengandung arti
lengkap.
6.
Tata Bahasa Didominasi oleh Jenis
Kata (Part of Speech)
Ciri ini
merupakan ciri yang paling menonjol di antara ciri-ciri yang lain. Hal ini
dapat dimengerti karena masalah penjenisan kata merupakan aspek linguistik yang
paling tua dalam sejarah kajian linguistik.
C. Para
Tokoh Aliran Aliran Linguistik Tradisional
Para tokoh yang
menganut aliran linguistik tradisional, antara lain:
1.
Dionysius Thrax
2.
Zandvoort
3.
C.A.
Mees
4.
van
Ophuysen
5.
RO
Winstedt
6.
Raja
Ali Haji
7.
St.
Moh. Zain
8.
St.
Takdir Alisyahbana
9.
Madong
Lubis
10.
Poedjawijatna
11.
Tardjan
Hadidjaja
D. Kelebihan
dan Kelemahan Aliran Linguistik Tradisional
1. Kelebihan
Aliran Linguistik Tradisional
a.
Teori tradisional ini lebih tahan
lama karena pola pikir aliran ini bertolak dari pola pikir filsafat.
b.
Aliran ini berkiblat pada bahasa
tulis baku, maka keteraturan penggunaan bahasa bagi para penganutnya sangat
dibangggakan.
c.
Aliran tradisional mampu
menghasilkan generasi yang mempunyai kepandaian dalam menghafal istilah karena
salah satu ciri aliran ini senang bermain dengan definisi.
d.
Aliran tradisional menjadikan
penganutnya memiliki pengetahuan tata bahasa yang cukup tinggi karena pemakaian
bahasa berkiblat pada pola atau kaidah.
e.
Aliran ini telah memberikan
kontribusi besar terhadap penegakan prinsip: “yang benar adalah benar walaupun
tidaka umum, dan yang salah adalah salah walaupun banyak pengikutnya”.
2. Kelemahan
Aliran Linguistik Tradisional
a. Teori
tradisional belum bisa membedakan bahasa dan tulisan sehingga pengertian antara
bahasa dan tulisan masih kacau.
b. Teori ini tidak
pernah menyajikan kenyataan bahasa yang kemudian dianalisis dan disimpulkan,
yang paling utama adalah memahami istilah dengan menghafal definisi yang
dirumuskan secara filosofis.
c. Pemakaian bahasa
berkiblat pada pola atau kaidah sehingga siswa pandai dan hafal teori-teori
bahasa akan tetapi tidak mahir sama sekali berbicara atau berbahasa di dalam
kehidupan masyarakat.
d. Level-level
gramatikalnya belum rapi hanya tiga level yang secara pasti ditegakkan, yakni
huruf, kata, dan kalimat.
e. Pemerian bahasa
menggunakan pola Bahasa Latin yang sangat berbeda dengan Bahasa Indonesia.
f. Pemerian bahasa
berdasarkan bahasa tulis baku padahal bahasa tulis baku hanya merupakan
sebagian dari ragam bahasa yang ada.
g. Permasalahan
tata bahasa masih banyak didominasi oleh permasalahan jenis kata (part of speech), sehingga ruang lingkup
permasalahan masih sangat sempit.
h.
Objek kajian hanya sampai dengan level kalimat,
sehingga tidak memungkinkan menyentuh aspek komunikatif.
E. Zaman-zaman yang Terdapat pada
Aliran Tradisional
1. Lingustik Zaman Yunani
Chaer (2003:333)
menjelaskan bahwa studi bahasa pada zaman Yunani mempunyai sejarah yang sangat
panjang, yaitu dari lebih kurang abad ke-5 S.M. sampai lebih kurang abad ke-2
M. Jadi, lebih kurang sekitar 600 tahun. Masalah
pokok kebahasaan yang menjadi pertentangan
para linguis pada waktu itu adalah (1) pertentangan antara fisis dan nomos dan (2) pertentangan antara analogi
dan anomali.
Para filsuf
Yunani mempertanyakan, apakah bahasa itu bersifat alami (fisis) atau bersifat konvensi (nomos).
Bersifat alami atau fisis maksudnya bahasa itu mempunyai hubungan asal-usul,
sumber dalam prinsip-prinsip abadi, dan tidak dapat diganti di luar manusia itu
sendiri. Oleh karena itu, tidak dapat ditolak. Dalam bidang semantik, kelompok
yang menganut faham ini, yaitu kaum naturalis yang berpendapat bahwa setiap
kata mempunyai hubungan dengan benda yang ditunjuknya atau dengan kata lain
setiap kata mempunyai makna secara alami (fisis).
Sebaliknya kelompok lain yaitu kaum konvensional berpendapat bahwa bahasa
bersifat konvensi yang artinya makna-makna kata kata itu diperoleh dari
hasil-hasil tradisi atau kebiasaan-kebiasaan yang mempunyai kemungkinan bisa
berubah.
Pertentangan
analogi dan anomali menyangkut masalah bahasa itu sesuatu yang teratur atau
tidak teratur. Yang termasuk ke dalam kaum analogi
antara lain Plato dan Aristoteles yang berpendapat bahwa bahasa itu bersifat
teratur. Karena adanya keteraturan itulah orang dapat menyusun tata bahasa.
Jika tidak teratur tentu yang dapat disusun hanya idiom-idiom saja dari bahasa
itu dan keteraturan bahasa itu juga tampak serta juga terjadi pembentukan
jamak. Selanjutnya, kelompok anomali
berpendapat bahwa bahasa itu tidak teratur. Kalau bahasa itu teratur, mengapa
terdapat bentuk jamak.
Dari
keterangan di atas tampak bahwa kaum anomali
sejalan dengan kaum naturalis (fisis),
dan kaum analogi sejalan dengan kaum
konvensional (nomos). Pertentangan
kedua kelompok tersebut, anomali dan analogi masih berlangsung sampai
sekarang, terutama jika orang berbicara tentang filsafat bahasa.
Dari studi
bahasa pada zaman Yunani ini kita bisa mengenal nama dari beberapa kaum atau
tokoh yang mempuyai peranan besar dalam studi pada zaman Yunani. Di bawah ini
akan dijelaskan secara singkat.
a. Kaum Sophis
Kaum Sophis muncul pada abad ke-5 S.M. dan mereka terkenal dalam studi bahasa, antara lain:
1. Mereka melakukan kerja secara empiris.
2.
Mereka melakukan kerja secara pasti
dengan mengunakan ukuran-ukuran tertentu.
3.
Mereka sangat mementingkan retorika
dalam studi bahasa.
4.
Mereka membedakan tipe-tipe kalimat
berdasarkan isi dan makna.
Salah seorang tokoh dari kaum sophis bernama Phytagoras
membagi kalimat menjadi kalimat narasi, kalimat tanya, kalimat jawab, kalimat
perintah, kalimat laporan, do’a, dan undangan. Tokoh lain dari kaum Sophis
yaitu Gorgias yang membicarakan gaya bahasa seperti yang sudah kita kenal
sekarang.
b. Plato (429-347 S.M.)
Plato yang hidup sebelum abad Masehi itu, dalam studi
bahasa terkenal, antara lain dikarenakan.
1.
Dia memperdebatkan analogi dan anomali dalam bukunya Dialoog
serta juga mengemukakan masalah bahasa alamiah dan
bahasa konvensial.
2.
Dia menyodorkan batasan bahasa yang
berbunyi: bahasa adalah pertanyaan pikiran
manusia dengan perantara onomata dan rhemata.
3.
Dialah orang yang pertama kali
membedakan kata dalam onoma dan rhema.
Onoma (bentuk tunggalnya onomata) dapat berarti:
(1) nama, dalam sehari-hari; (2) nomina, nominal
dalam istilah tata bahasa; dan (3) subjek, dalam hubungan subjek logis. Sedangkan
rhema (bentuk tunggalnya rhemata)
dapat berarti: (1) ucapan, dalam sehari-hari; (2) verba, dalam istilah tata
bahasa; dan (3) predikat, dalam hubungan predikat logis. Keduanya merupakan
anggota logos, yaitu kalimat atau klausa.
c. Aristoteles (384-322 S.M.)
Aristoteles adalah salah seorang murid dari Plato. Dalam
studi bahasa dia terkenal dikarenakan.
1.
Dia menambahkan satu kelas lagi atas
pembagian yang dibuat oleh gurunya, Plato, yaitu syndesmoi. Jadi, menurutnya ada tiga macam kelas kata yaitu onoma, rhema, dan syndesmoi. Syndesmoi yaitu
kata-kata yang lebih banyak
bertugas dalam hubung sintaksis (sama dengan
preposisi dan konjungsi yang kita kenal sekarang).
2.
Dia membedakan jenis kelamin kata (gender) menjadi tiga yaitu maskulin, feminin, dan neutrum.
Aristoteles selalu bertolak dari logika dan dia sudah
memberikan pengertian, definisi, konsep, makna, dan sebagainya selalu berdasar
pada logika.
d. Kaum Stoik
Kaum Stoik Adalah
kelompok ahli filsafat yang berkembang pada
permulaan abad ke-4 S.M. dalam studi bahasa, kaum Stoik terkenal dikarenakan.
1.
Mereka membedakan
studi bahasa secara logika dan studi bahasa secara tata bahasa.
2.
Mereka menciptakan istilah-istilah khusus untuk studi bahasa.
3.
Mereka membedakan tiga komponen
utama dari studi bahasa yaitu (1) tanda, simbol, sign atau semainon; (2) makna, apa yang sebut semainomen atau lekton; dan (3)
hal-hal di luar bahasa,
yakni benda atau situasi.
4.
Mereka membedakan legein, yaitu bunyi
yang merupakan bagian dari fonologi tetapi tidak
bermakna dan propheretal yaitu ucapan
bunyi bahasa yang mengandung makna.
5.
Mereka membagi jenis kata menjadi
empat, yaitu kata benda, kata kerja, syndesmoi,
dan arthoron, yaitu kata-kata yang
menyatakan jenis kelamin dan jumlah.
6.
Mereka membedakan adanya kata kerja
komplet dan kata kerja tidak komplet, serta kata
kerja aktif dan kata kerja pasif.
Dari uraian di atas tampak jelas bahwa yang telah
dihasilkan oleh kaum Stoik lebih jauh daripada yang telah dihasilkan oleh atau
pada zaman Plato dan Aristoteles.
e. Kaum Alexandrian
Kaum Alexandrian menganut paham analogi dalam studi
bahasa. Oleh karena itulah dari mereka kita mewarisi sebuah buku tata bahasa
yang bisebut “Tata Bahasa Dionysius Thrax” sebagai hasil mereka dalam
menyelidiki kereguleran Bahasa Yunani. Buku tersebut
lahir lebih kurang tahun 100 S.M. dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin oleh
Remmius Palaemon pada permulaan abad pertama Masehi dengan judul “Ars
Grammatika”. Buku itulah yang kemudian dijadikan model dalam penyusunan buku
tata bahasa Eropa lainnya. Karena sifatnya yang mentradisi, maka buku tersebut
sekarang dikenal dengan sebutan tata bahasa tradisonal dan cikal bakal tata
bahasa tradisonal tersebut berasal dari buku “Tata Bahasa Dionysius Thrax”.
2. Zaman Romawi
Studi bahasa pada zaman Romawi dapat
dianggap kelanjutan dari zaman Yunani, sejalan dengan jatuhnya Yunani, dan
munculnya Kerajaan Romawi. Boleh dikatakan orang Romawi mendapat
pengalamandalam bidang linguistik dari orang Yunani. Pada awal abad pertama
Remmius Palaemon telah menerjemahkan buku “Tata Bahasa Dionysius Thrax” ke dalam
Bahasa Latin dengan judul “Ars Grammatika”. Tokoh pada zaman
Rowami yang terkenal, antara lain: Varro (116-27 S.M.) dengan karyanya “De
Lingua Latina” dan Priscia dengan karyanya “Institutiones
Grammaticae”.
a. Varro dan “De Lingua Latina”
Dalam buku “De Lingua Latina” yang
terdiri dari 25 jilid, Varro juga masih memperdebatkan masalah analogi
dan anomali seperti
pada zaman Stoik di Yunani. Buku ini dibagi dalam bidang-bidang etimologi, morfologi, dan sintaksis.
1.
Etimologi
adalah cabang lingustik yang meyelidiki asal usul kata beserta
artinya. Dalam bidang ini Varro mencatat adanya perubahan bunyi yang terjadi dari zaman ke zaman serta perubahan makna
kata. Kelemahan Varro dalam bidang etimologi ini adalah dia menganggap
kata-kata Latin dan Yunani yang berbentuk sama adalah pinjaman langsung.
Padahal banyak dari kata Latin dan Yunani yang harus direkonstruksikan kembali
kepada satu bahasa purba atau bahasa proto yang lebih tua.
2.
Morfologi adalah cabang lingustik yang mempelajari kata dan pembentukannya. Menurut Varro, kata adalah bagian dari ucapan tidak dapat dibedakan lagi dan merupakan
bentuk minimum. Menurut Varro, dalam Bahasa Latin ada kata-kata yang terjadi
secara analogi dan ada juga yang
terjadi secara anomali. Jadi, ada
bentuk yang reguler dan ada juga yang tidak reguler. Dalam menyusun kata, Varro
membagi tiga kelas kata Latin dalam empat bagian, yaitu:
a.
Kata benda, termasuk kata sifat, yakni kata yang disebut
berinfleksi kasus.
b.
Kata kerja, yakni kata yang membuat pernyataan, yang berinfleksi “tense”.
c.
Partisipel, yakni kata yang menghubungkan (dalam sintaksis kata benda dan kata kerja),
yang berinfleksi kasus dan “tense”.
d.
Adverbium, yakni kata yang mendukung (anggota bawahan dari kata kerja), yang tidak berinfleksi.
Kategori kata kerja dibedakan atas “tense”, “time”,
dan “aspect” serta aktif dan pasif.
Tentang kasus dalam Bahasa Yunani ada lima buah, maka
dalam Bahasa Latin menurut Varro ada enam buah, yaitu: (1) nominativus, yaitu bentuk primer atau pokok; (2) genetivus, yaitu bentuk yang menyatakan
kepunyaan; (3) dativus, yaitu bentuk
yang menyatakan menerima; (4) akusativus,
yaitu bentuk yang menyatakan objek; (5) vokatikus,
yaitu bentuk sebagai sapaan atau panggilan; dan (6) ablativus, yaitu bentuk yang menyatakan asal.
Mengenal deklinasi, yaitu perubahan bentuk kata yang
berkenaan dengan kategori, kasus, jumlah, dan jenis. Varro membedakan adanya
dua macam deklinas, yaitu deklinasi naturalis dan deklinasi voluntaris. Yang
dimaksud dengan deklinasi naturalis adalah perubahan yang bersifat alamiah,
sebab perubahan itu dengan sendirinya dan sudah berpola. Deklinasi ini pada
umumnya bersifat reguler dan biasanya sudah dapat diketahui pemakai bahasa
dengan serta merta tanpa ragu-ragu. Sebaliknya, deklinasi voluntaris
perubahannya terjadi secara morfologis bersifat selektif dan manasuka. Jadi,
sifatnya reguler. Oleh karena itu, para pemakai bahasa harus sadar bagaimana ia
harus melaksanakan deklinasi itu
b. “Institutiones
Grammaticae” atau Tata Bahasa Priscia
Dalam
sejarah studi bahasa, buku tata bahasa Priscia ini, yang terdiri dari 18 jilid
(16 jilid tentang morfologi dan 2 jilid tentang sintaksis) yang dianggap sangat
penting, karena:
1.
merupakan
buku tata bahasa Latin yang paling lengkap yang ditunturkan oleh pembicara aslinya;
2.
teori-teori tata bahasanya merupakan
tonggak-tonggak utama
pembicaran bahasa secara tradisional.
Buku tata
bahasa ini kemudian menjadi model dan contoh dalam penulisan buku tata bahasa
bahasa-bahasa lain di Eropa dan di bagian dunia lain. Sebagai buku tata bahasa
tradisional, buku ini secara nyata dan pasti menggunakan semantik atau makna
sebagai norma utama pembahasan bahasa, walaupun segi-segi formal bahasa juga
dibicarakan. Beberapa segi yang patut dibicarakan tentang buku ini, antara
lain, adalah:
a.
Fonologi, dalam bidang ini pertama-tama dibicarakan tulisan atau huruf yang disebut
“litterae”. “Litterae”
adalah bagian terkecil dari bunyi yang dapat dituliskan. Nama huruf-huruf itu disebut “figurae”, sedangkan
nilai bunyi itu disebut “potestas”. Bunyi itu dibedakan atas empat macam,
yaitu: (1) vox artikulata, bunyi yang
diucapkan untuk membedakan makna; (2) vox
martikulata, bunyi yang tidak diucapkan untuk menunjukkan makna; (3) vox litterata, yaitu bunyi yang dapat
dituliskan baik yang artikulata
maupun yang matrikulata; dan (4) vox illiterata, yaitu bunyi yang tidak
dapat dituliskan.
b.
Morfologi, dalam bidang ini dibicarakan mengenai dictio atau kata. Diction atau kata
adalah bagian yang minimum dari sebuah
ujaran dan harus diartikan terpisah dalam makna
sebagai satu-kesatuan. Diction atau
kata tersebut dibagi menjadi delapan jenis yang disebut partes orationis. Kedelapan jenis kata itu adalah: (1) nomen, termasuk kata benda dan kata
sifat menurut klasifikasi sekarang; (2) verbum,
yaitu kata yang menyatakan perbuatan atau dikenal dengan perbuatan; (3) participium, yaitu kata yang selalu
berderivasi dari verbum, mengambil kategori
verbum dan nomen; (4) pronomen,
yaitu kata-kata yang dapat menggantikan nomen;
(5) adverbium, yaitu kata-kata yang
secara sintaksis dan semantik merupakan atribut dari verbum; (6) praepositio,
yaitu kata-kata yang terletak di depan bentuk yang berkasus; (7) interjectio, yaitu kata-kata yang
menyatakan perasaan, sikap, atau pikiran; dan (8) conjunctio, yaitu kata-kata yang bertugas menghubungkan
anggota-anggota kelas kata yang lain untuk menyatakan hubungan sesamanya.
c.
Sintaksis, membicarakan tentang hal
yang disebut oratio, yaitu tata susun
kata yang berselaras dan menunjukan kalimat itu selesai. Selain itu, sebuah kata dapat menjadi sebuah kalimat yang penuh.
Akhirnya,
buku “Institutiones Grammaticae” ini telah menjadi dasar tata bahasa Latin dan filsafat
zaman pertengahan.
c. Zaman Pertengahan
Studi bahasa
pada zaman pertengahan di Eropa mendapat perhatian penuh terutama oleh para
filsuf skolastik dan Bahasa Latin menjadi lingua
franca, karena dipakai sebagai bahasa gereja, bahasa diplomasi, dan bahasa
ilmu pengetahuan. Dari zaman pertengahan ini yang patut dibicarakan dalam studi
bahasa, antara lain adalah peranan Kaum Modistae, Tata Bahasa Spekulativa, dan
Petrus Hispanus.
1.
Peranan Kaum Modistae
Kaum Modistae masih membicarakan pertentangan fisis
dan nomos dan pertentangan antara analogi dan anomali. Mereka menerima
konsep analogi karena menurut mereka
bahasa itu bersifat reguler dan bersifat universal.
2.
Tata Bahasa Spekulativa
Tata Bahasa Spektulativa merupakan hasil integrasi
deskripsi gramatikal Bahasa Latin (seperti yang dirumuskan oleh Priscia) ke
dalam filsafat skolastik. Kata tidak secara langsung mewakili alam dari benda yang ditunjuk. Kata
hanya mewakili hal adanya benda itu dalam berbagai cara, modus, substansi, aksi, kualitas, dan sebagainya. Semua
bahasa akan mempunyai kata untuk konsep yang sama dan semua bahasa akan
menyatakan kesamaan jenis kata dan kategori-kategori gramatikal lainnya. Salah
seorang gramatikus dari zaman ini adalah Peter Hellas. Dia mengikuti jejak
Priscia, tetapi dia selalu memberikan komentar berdasarkan logika Aristoteles.
3.
Perus Hispanus
Perus Hispanus pernah
menjadi Paus, yaitu pada tahun 1276-1277 dengan gelar Paus Johannes XXI.
Bukunya yang berjudul “Summulae Logicales”. Peranannya dalam bidang linguistik, antara lain:
a.
Dia telah memasukkan psikologi dalam
analisis makna bahasa. Dia juga membedakan antara signifikasi utama dan
konsignifikasi, yaitu perbedaan pengertian pada bentuk akar dan pengertian yang
dikandung oleh imbuhan-imbuhan.
b.
Dia telah membedakan nomen atas dan macam, yaitu nomen substantivum dan nomen adjectivum.
c.
Dia telah membedakan partes orationes atas categoremetik (semua
bentuk yang dapat menjadi subyek atau predikat) dan syntategorematik (semua
bentuk tutur lainnya).
d. Zaman Renaisans
Zaman
Renaisans dianggap sebagai zaman pembukaan abad pemikiran abad modern. Dalam sejarah
studi bahasa, ada dua hal pada zaman Renaisans yang menonjol yang perlu
dicatat, yaitu:
1.
Penguasaan beberapa bahasa oleh
sarjana-sarjana pada waktu itu (Latin, Yunani, Ibrani, dan Arab).
2.
Selain bahasa Yunani, Latin, Ibrani,
dan Arab, bahasa-bahasa Eropa lainnya juga mendapat perhatian dalam bentuk
pembahasan, penyusunan tata bahasa, dan malah juga perbandingan.
Bahasa
Ibrani dan bahasa Arab banyak di pelajari orang pada akhir abad pertengahan.
Kedua bahasa itu diakui resmi pada akhir abad ke-14 di Universitas Paris.
Bahasa Ibrani perlu diketahui dan dipelajari karena kedudukannya sebagai bahasa
kitab Perjanjian Lama dan kitab Perjanjian Baru. Beberapa buku tentang tata
bahasa Ibrani pernah ditulis oleh orang pada zaman Renaisans yang di antaranya:
Roger Bacon, Reuchlin, dan N. Clenard. Buku tata bahasa yang pernah ditulis
oleh Reuchlin berjudul “De Rudimentis Hebraicis” yang berisi tentang
penggolongan kata. Dia menggolongkan kata Bahasa Ibrani atas nomen, verbum, dan partikel.
Penggolongan kata tersebut mirip dengan penggolongan kata dalam linguistik Arab
yang menjadi ismun, fi’lun, dan harfun. Sesungguhnya Bahasa Ibrani dan Arab adalah dua bahasa yang
serumpun dan perkembangan studi bahasa Ibrani juga sejalan dengan perkembangan
linguistik Bahasa Arab yang terlebih dahulu memperoleh kemajuan.
Linguistik
Arab berkembang pesat karena kedudukan bahasa Arab sebagai bahasa kitab suci
agama Islam, yaitu Qur’an. Sedangkan bahasa kitab suci menurut pendapat
kebanyakan Ulama Islam tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa lain dan hanya
boleh ditafsirkan saja. Ada dua aliran linguistik Arab, yaitu:
1.
Aliran Basra (mendapat pengaruh
konsep analogi dari zaman Yunani yang
senantiasa berpegang teguh pada kereguleran dan kesistematisan Bahasa Arab).
2.
Aliran Kufah (menganut paham anomali karena mereka lebih memberikan
perhatian kepada keanekaragaman bahasa).
Bahasa-bahasa
Eropa, dimana yang mendapat perhatian secara khusus dan serius adalah studi
tentang bahasa Roman atau Neo-Latin. Lebih-lebih setelah Dante menulis buku
yang berjudul “De Vulgari Eloquentia” pada permulaan abad ke-14 yang berisi
tentang bahasa yang dipakai sehari-hari yang diketahui sejak kecil. Dia juga
mengusulkan agar Bahasa Italia dijadikan bahasa persatuan di seluruh Italia.
Adanya hubungan antara bahasa-bahasa Roman dengan Bahasa Latin menyebabkan
timbulnya studi bahasa-bahasa secara diakronik.
Bahasa-bahasa
Di Luar Eropa, mendapat perhatian dalam studi bahasa karena adanya kegiatan
(keagamaan, politik, perdagangan, dan sebagainya) para misionaris ke luar
negeri yang jauh dari Eropa dan harus melibatkan mereka dengan bahasa-bahasa
tersebut sehingga muncul berbagai tulisan tentang bahasa-bahasa seperti yang
terdapat di India, Jepang, Indonesia, dan lain-lainnya. Selain itu, misi
tersebut juga berguna untuk menyadarkan pula akan perlunya sebuah bahasa yang
dapat dipakai sebagai bahasa perhubungan (lingua
franca) antarbangsa.
e. Menjelang Lahirnya Linguistik Modern
Ferdinand de
Saussure dianggap sebagai bapak Linguistik Modern. Masa antara lahirnya
linguistik modern dengan masa berakhirnya zaman Renaisans ada satu tonggak yang
sangat penting dalam sejarah studi bahasa. Tonggak yang dianggap sangat penting
itu adalah dinyatakannya adanya hubungan kekerabatan antara Bahasa Sanskerta
dengan bahasa-bahasa Yunani, Latin, dan bahasa Jerman lainnya. Hal tersebut
dikemukakan oleh Sir William Jones dari East
India Company di hadapan The Royal
Asiatic Society di Kalkuta, India pada tahun 1786. Pernyataan Beliau telah
membuka babak baru sejarah linguistik, yaitu dengan berkembangnya studi
linguistik bandingan atau linguistik historis komparatif serta studi tentang
hakikat bahasa secara linguistik terlepas dari masalah filsafat Yunani Kuno.
F. Analisis
Kalimat Dalam Aliran Linguistik Tradisional
1. Zaman
Yunani
Pada Zaman ini,para tokooh banyak
berkutat untuk mempertentangkan perihal fisis
dan nomos, naturalis dan konvensional,
analogi dan anomaly. Pertentangan-pertentangan ini, tampaknya menjadi tumpuan
bagi beberapa kaum dan tokoh yang muncul dalam studi bahasa tersebut.
a. Kaum
Sophis yang berdasarkan isi dan maknanya mereka telah membagi kalimat menjadi 7
bagian yaitu: kalimat narasi, kalimat tanya, kalimat jawab, kalimat perintah, kalimat
laporan, doa, dan undangan. Merujuk pada pembagian kalimat tersebut, maka keenam
kalimat tersebut hanya bisa dibedakan berdasarkan jenis kalimatnya dan berikut
analisisnya:
1) Ibu membeli susu.
Onoma Rhema
Onoma
Kalimat ‘Ibu membeli susu’ termasuk
ke dalam jenis kalimat narasi, dimana pada kalimat tersebut menceritakan adanya
aktifitas membeli susu yang dilakukan oleh Ibu.
2) Buku itu berwarna putih.
Onoma Rhema
Kalimat ‘Buku itu berwarna putih’ termasuk
ke dalam jenis kalimat narasi, dimana pada kalimat tersebut menceritakan bahwa buku
itu berwarna putih.
3) Sebuah candi ditemukan di
Nganjuk.
Onoma Rhema Onoma
Kalimat ‘Sebuah candi ditemukan di
Nganjuk’ termasuk ke dalam jenis kalimat laporan, dimana pada kalimat tersebut
menunjukkan adanya laporan bahwa sebuah candi sudah ditemukan di Nganjuk.
4) Bapak sare, kula siram.
'Ayah tidur, saya mandi'
'Ayah tidur, saya mandi'
Onoma Rhema
Onoma Rhema
Kalimat ‘Ayah tidur aku mandi termasuk ke dalam jenis
kalimat narasi, dimana pada kalimat tersebut menceritakan adanya aktifitas tidur
yang dilakukan oleh ayah dan saya melakukan aktivitas mandi.
5) Surabaya itu kota bersih.
Onoma Rhema
Kalimat ‘Surabaya itu kota bersih’
termasuk ke dalam jenis kalimat laporan, dimana pada kalimat tersebut
menunjukkan adanya laporan bahwa Surabaya itu kota yang bersih.
6) Kuda itu menendang petani.
Onoma
Rhema Onoma
Kalimat ‘Kuda itu menendang petani’
termasuk ke dalam jenis kalimat laporan, dimana pada kalimat tersebut
menunjukkan adanya laporan bahwa kuda itu memang menendang petani.
Sebenarnya, akan lebih tepat jika
penggolongan jenis kalimat tidak disebutkan sebagai jenis kalimat narasi yang
berisi cerita dan jenis kalimat laporan yang berisi tentang berita, tetapi
lebih tepatnya kalimat narasi dan kalimat laporan yang berisi sebuah informasi.
Karena pada dasarnya sebuah narasi dan laporan tidak dapat disajikan dalam
bentuk kalimat, tetapi disajikan dalam bentuk paragraf.
b. Plato
(429-347 s.M.)
Dengan konsepnya onoma (nama) atau sejajar dengan subjek
dan rhema (ucapan) atau sejajar dengan
verba yang bisa menduduki posisi predikat. Berikut ini adalah analisis keenam
kalimat dengan menerapkan konsep Plato:
1) Ibu
membeli susu.
Onoma Rhema
Onoma
Terbukti
bahwa konsep Plato tersebut dapat diterima.
2) Buku itu berwarna putih.
Onoma Rhema
Terbukti
bahwa konsep Plato tersebut dapat diterima.
3) Sebuah candi ditemukan di
Nganjuk.
Onoma Rhema Onoma
Terbukti
bahwa konsep Plato tersebut dapat diterima.
4) Bapak sare,
kula siram.
'Ayah tidur, saya mandi'
'Ayah tidur, saya mandi'
Onoma
Rhema Onoma Rhema
Terbukti
bahwa konsep Plato tersebut dapat diterima.
5) Surabaya itu kota bersih.
Onoma Rhema
Terbukti
bahwa konsep Plato tersebut dapat diterima.
6) Kuda itu menendang petani.
Onoma
Rhema Onoma
Terbukti
bahwa konsep Plato tersebut dapat diterima.
c. Ariestoteles
(384 – 322 s.M.)
Dengan konsepnya yang menambahkan
kelas kata syndesmoi pada konsep Plato
yang terdiri dari anoma dan rhema. Syndesmoi adalah sebuah konjungsi.
Berikut ini adalah analisis keenam kalimat dengan menerapkan konsep
Ariestoteles:
1) Ibu membeli susu.
Onoma Rhema
Onoma
Kalimat tersebut hanya memiliki satu
klausa saja dan membuktikan bahwa konsep Aristoteles terbukti tidak dapat
diterima.
2) Buku itu berwarna putih.
Onoma Rhema
Kalimat tersebut hanya memiliki satu
klausa saja dan membuktikan bahwa konsep Aristoteles terbukti tidak dapat
diterima.
3) Sebuah candi ditemukan di
Nganjuk.
Onoma Rhema Onoma
Kalimat tersebut hanya memiliki satu
klausa saja dan membuktikan bahwa konsep Aristoteles terbukti tidak dapat
diterima.
4) Bapak sare (,) kula
siram.
'Ayah tidur , saya mandi'
Onoma Rhema syndesmoy Onoma Rhema
Onoma Rhema syndesmoy Onoma Rhema
Kalimat tersebut memiliki dua logos ‘klausa’ yang saling berhubungan.
Hanya saja, untuk menghubungkannya tidak digunakan konjungsi tetapi menggunakan
tanda koma (,) yang bisa digantikan dengan konjungsi ‘nalika’.
5) Surabaya itu kota bersih.
Onoma Rhema
Kalimat tersebut hanya memiliki satu
klausa saja dan membuktikan bahwa konsep Aristoteles terbukti tidak dapat
diterima.
6) Kuda itu menendang petani.
Onoma Rhema
Onoma
Kalimat tersebut hanya memiliki satu
klausa saja dan membuktikan bahwa konsep Aristoteles terbukti tidak dapat
diterima.
d. Kaum
Stoik
Konsep yang dihasilkan kaum stoik
adalah:
1) adanya
semaion, makna dan benda ataupun situasi.
2) bunyi
yang bermakna (propheretal) dan tidak
bermakna (legein).
3) ada
4 jenis kata : kata benda,kata kerja,syndesmoi dan arthoron .
4) kata
kerja komplet (KKK),
kata kerja tak komplet(KKtK)
dan kata kerja aktif dan kata kerja pasif.
Berikut ini adalah analisis keenam
kalimat dengan menerapkan kaum Stoik:
1) Ibu membeli susu.
KB KKK KB
Pada kalimat “Ibu membeli susu”
menunjukkan ada simbol yang berupa kata/tulisan yang diiringi dengan maknanya
yang menunjukkan situasi yang terjadi. Pada kalimat itu pula, didapatkan bunyi
yang bermakna (propheretal). kelas kata yang ada dalam kalimat tersebut meliputi kata
benda dan kata kerja komplet aktif.
2) Buku itu berwarna putih.
KB KKtK -
Pada kalimat “Buku itu berwarna
putih” menunjukkan ada simbol yang berupa kata/tulisan yang diiringi dengan
maknanya yang menunjukkan situasi yang terjadi. Pada kalimat itu pula,
didapatkan bunyi yang bermakna (propheretal)
dan di dalam kalimat tersebut juga terdapat dua
jenis kata, yaitu kata benda dan kata kerja tak komplet serta terdapat satu
kata yang tidak dapat digolongkan ke dalam kelas kata menurut kaum Stoik, yaitu
kata putih (kata sifat).
3. Sebuah
candi
ditemukan di Nganjuk.
KB(arthoron) KKK -
Pada kalimat “Sebuah candi
ditemukan di Nganjuk” menunjukkan ada simbol yang berupa kata/tulisan yang
diiringi dengan maknanya yang menunjukkan situasi yang terjadi. Pada kalimat
itu pula, didapatkan bunyi yang bermakna (propheretal)
dan di dalam kalimat tersebut juga terdapats satu kata
benda arthoron (menyatakan satu buah)
dan satu kata kerja komplet pasif serta terdapat satu kata yang tidak bisa
dimasukkan kedalam jenis kata kaum Stoik yaitu di Nganjuk yang memiliki fungsi
sebagai keterangan.
4.
Bapak
sare,
kula siram.
'Ayah tidur, saya mandi'
'Ayah tidur, saya mandi'
KB
KKtK
KB KKtK
Pada kalimat “Bapak sare, kula
siram” menunjukkan ada simbol yang berupa kata/tulisan yang diiringi dengan
maknanya yang menunjukkan situasi yang terjadi. Pada kalimat itu pula, didapatkan
bunyi yang bermakna (propheretal) dan
di dalam kalimat tersebut juga terdapat
dua kata benda yaitu Bapak dan Kula,
dua kata kerja tak komplet yaitu sare
dan siram.
5. Surabaya itu kota
bersih.
KB KB -
Pada kalimat “Surabaya itu kota
bersih” menunjukkan ada simbol yang berupa kata/tulisan yang diiringi dengan
maknanya yang menunjukkan situasi yang terjadi. Pada kalimat itu pula,
didapatkan bunyi yang bermakna (propheretal)
dan di dalam kalimat tersebut juga terdapat
dua kata benda yaitu Surabaya dan kota, satu kata yang tidak bisa digolongkan
jenis kata kaum Stoik yaitu bersih (kata sifat).
6.
Kuda
itu
menendang petani.
KB
KKK KB
Pada kalimat “Kuda itu menendang
petani” menunjukkan ada simbol yang berupa kata/tulisan yang diiringi dengan
maknanya yang menunjukkan situasi yang terjadi. Pada kalimat itu pula,
didapatkan bunyi yang bermakna (propheretal)
dan di dalam kalimat tersebut juga terdapat
dua kata benda dan satu kata kerja komplet aktif..
i.
Zaman Romawi
Tokoh yang terkenal didalamya
adalah Varro dan Priscia.
b. Varro
Varro mengenalkan hasil studi
bahasanya sebagai berikut:
1) Etimologis
Varro menyatakan bahwa terjadi
perubahan bunyi dari zaman ke zaman.
2) Morfologi
Dalam hal morfologi, Varro membagi
kelas kata Latin menjadi 4 yakni:
a) kata
benda termasuk kata sifat yakni kata yang berinfleksi kasus (peran).
b) kata
kerja yakni kata yang membuat pernyataan, yang berinfleksi “tense”.
c) partisipel,
kata yang menghubungkan
(kata benda dan kata kerja dalam sintaksis) yang tidak berinfleksi.
d) adverbium,
yakni kata yang mendukung (anggota bawahan dari kata kerja) yang tidak
berinfleksi (Chaer, 2003:339).
Berikut ini adalah analisis keenam
kalimat dengan menerapkan konsep Varro:
1.
Ibu
membeli susu.
KB KK KB
2.
Buku
itu
berwarna putih.
KB KK -
3.
Sebuah
candi
ditemukan di Nganjuk.
KB KK -
4.
Bapak
sare, kula siram.
'Ayah tidur, saya mandi'
'Ayah tidur, saya mandi'
KB KK
KB KK
Pada kalimat “bapak sare, kula
siram” tidak bisa diterapkan persis dengan konsep tersebut, karena dalam bahasa
Jawa tidak terdapat kata kerja yang berinfleksi dengan “tenses”. Pada bagian
partisipel, kalimat “bapak sare, kula siram”
ini bisa diperikan sebagai berikut:
Bapak sare ,
kula siram
Kata penghubung
pada kalimat tersebut adalah adanya tanda koma (,) yang tidak berinfleksi dengan
apapun. Dalam kalimat ini, tidak terdapat adverbium karena masing-masing
predikat tidak disertai kata lain.
5.
Surabaya
itu
kota bersih.
KB
KB -
6.
Kuda
itu
menendang petani.
KB KK KB
c. Institutiones
Grammaticae atau Tata Bahasa Priscia
Buku tata bahasa Priscia ini
dibicarakan mengenai tiga studi kebahasaan, meliputi (a) fonologi, (b) morfologi,
dan (c) sintaksis. Dalam fonologi, ia membedakan adaya empat bunyi yaitu: (1) vox
artikulata,(2) vox martikulata, (3) vox literata, dan (4) vox illiterate. Dalam
morfologi, Priscia mengetengahkan tentang (1) nomen, (2) verbum, (3)
participium, (4) pronomen, (5) adverbium, (6) praepositio, (7) interjection,
dan (8) conjunction.
1)
Ibu membeli susu
2)
Buku itu berwarna putih.
3)
Sebuah candi ditemukan di Nganjuk.
4)
Bapak
sare, kula siram.
'Ayah tidur, saya mandi'
'Ayah tidur, saya mandi'
5) Surabaya itu kota
bersih.
6) Kuda itu menendang
petani.
Secara keseluruhan, kalimat tersebut diatas secara
fonologi atas konsep precisian merupakan jenis bunyi yang tergolong vox
litterata dengan kategori artikulata.
Sementara dalam Tata bahasa
pricisia yang memerikan tentang kelas kata adalah sebagai berikut:
1)
Ibu membeli susu.
Ibu : nomen
Membeli : verbum dengan praepositio
Susu ; participium
2)
Buku itu berwarna putih.
Buku : nomen
Itu : pronomen
Berwarna : verbum dengan praepositio
Putih : nomen (dalam klasifikasi kata
sifat)
3)
Sebuah candi ditemukan di Nganjuk.
Sebuah candi : nomen
Ditemukan : verbum dengan preposition
Di Nganjuk : participium dengan kategori nomen
4)
Bapak
sare, kula siram.
'Ayah tidur, saya mandi'
'Ayah tidur, saya mandi'
Menurut tata bahasa Priscia,
kalimat “bapak turu, kula siram” terdiri dari:
Bapak : nomen
Turu : verbum
Kula : nomen
Siram : verbum
5) Surabaya itu kota
bersih.
Surabaya itu :
nomen
Kota :
nomen
Bersih :
nomen (kata sifat)
6) Kuda itu menendang
petani.
Kuda itu :
nomen
Menendang :
verbum dengan preposition
Petani :
participium dengan kategori nomen.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Tahap
perkembangan bahasa terdiri atas tahap spekulasi, klasifikasi, dan rumusan
teori. Aliran tradisional baru mencapai tahap spekulasi dan klasifikasi.
2. Ciri-ciri aliran
tradisional bertolak dari pola pikir secara filosofis, tidak membedakan bahasa
dan tulisan, senang bermain dengan definisi, pemakaian bahasa berkiblat pada
pola/kaidah, level-level gramatik belum ditata secara rapi, tata bahasa
didominasi oleh jenis kata (part of
speech).
3. Aliran
tradisional juga memiliki banyak kelebihan dan kelemahan.
4. Linguistik
tradisional sering dipertentangkan dengan bahasa struktural, bedanya tata
bahasa tradisional menganalisis bahasa pada filsafat dan semantik, sedangkan
tata bahasa struktural berdasarkan struktur/ciri formal yang ada pada suatu
bahasa tertentu.
5. Zaman-zaman
yang terdapat pada aliran tradisional adalah sebagai berikut:
a. Linguistik Zaman
Yunani.
b. Linguistik Zaman
Romawi.
c. Linguistik Zaman
Pertengahan.
d. Zaman
Renaissans.
e. Menjelang
Lahirnya Linguistik Modern.
6. Analisis
kalimat :
Ibu
membeli susu
Buku
itu berwarna putih.
Sebuah
candi ditemukan di Nganjuk.
Bapak sare, kula siram.
Surabaya itu
kota bersih.
Kuda itu menendang
petani.
berdasarkan
linguistik tradisional, yaitu:
- Keenam kalimat tersebut bisa digolongkan sebagai kalimat narasi dan laporan menurut aliran Sophis.
- Keenam kalimat tersebut bisa digolongkan ke dalam onoma dan rhema menurut Plato.
- Keenam kalimat tersebut bisa digolongkasn ke dalam onoma, rhema, syndesmoi menurut Aristoteles.
- Keenam kalimat tersebut bisa digolongkan ke dalam Kata Benda (KB), KKK (Kata Kerja Komplet), KKtK (Kata kerja tak komplet).
- Keenam kalimat tersebut bisa digolongkan dalam kata benda (KB)dan kata kerja(KK) tetapi tidak dapat diterapkan secara keseluruhan terutama terkait dengan kata kerja infleksi kasus dan kata kerja infleksi tense karena konsep tersebut berdasarkan sejarahnya mengaji bahasa Latin sehingga tidak dapat diterima oleh bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.
- Keenam kalimat tersebut merupakan jenis bunyi yang tergolong vox litterata dengan kategori artikulata secara fonologi atas konsep precisian.
g.
Keenam kalimat
tersebut bisa digolongkan ke dalam nomen,
verbum
dengan praepositio, pronomen, nomen (dalam klasifikasi kata sifat), participium dengan kategori nomen.
B.
Saran
1. Makalah tentang
aliran tradisional ini hendaknya dapat menjadi sumber belajar untuk mengadakan
pengkajian aliran ini di masa mendatang.
2. Makalah ini
masih terbatas pada pembahasan tentang sejarah, ciri-ciri, kelebihan dan
kelemahan aliran tradisional, dan zaman-zaman yang terdapat pada aliran
tradisional. Pada pengkajian selanjutnya diharapkan lebih mendalam dan lebih
luas.
DAFTAR
PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Soeparno. 2002. Dasar-dasar Linguistik Umum. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
http://tasliati.blogspot.com/2013/12/aliran-linguistik-tradisional.html.
unduh pada 3 Desember 2013.
Laba Nur
Songo. Makalah Linguistik Tradisional.
http://labanursongo.blogspot.com/2013/12/makalah-linguistik-tradisional.html.
unduh pada 3 Desember 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar